BAB IV IJTIHAD



BAB IV
IJTIHAD
Kata sumber hukum islam merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al Ahkâm. Kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti  sumber hokum islam, mereka menggunakan al adillah al Syar’iyyah. Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum.
Sumber hukum dalam islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman. “Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”.(HR. Abu Daud dan AI Tirmidzi).

KD
1.1    Menerima kebenaran sumber hukum syariat Islam
1.2    Meyakini bahwa kemampuan berijtihad merupakan anugerah dari Allah
2.1    Memiliki sikap toleran dan saling menghargai sebagai implementasi dari pemahaman mengenai sumber hukum Islam yang muttafaq dan mukhtalaf
2.4  Menunjukkan rasa cinta ilmu sebagai implementasi dari hikmah materi ijtihad
3.3  Mengidentifikasi  sumberhukum Islam yang muttafaq dan mukhtalaf
3.4  Menjelaskan pengertian,fungsi, dan kedudukan ijtihad
4.2  Membuat peta konsep berkaitan dengan sumber hukum Islam yang muttafaq dan mukhtalaf

Tujuan pembelajaran:
a.    Dengan kerja keras melalui pengamatan siswa dapat menjelaskan macam-macam sumber hukum Islam yang disepakati
b.    Melalui berdiskusi dengan pasangannya dan penuh tanggung jawab maka peserta didik mampu mendefinisikan sumber hukum Islam yang disepakati
c.    Setelah kegiatan pembelajaran siswa dapat menjelaskan hikmah adanya sumber hukum yang disepakat






A.  Pendalaman Materi
Al Qur’an
1.    Pengertian
Secara kebahasaan (etimologi), kata “al Qur’an”  adalah bentuk isim masdar dari kata “qa-ra-a”  yang berarti membaca  yaitu kata “qur-a-nan”  yang berarti  yang dibaca. Demikian pendapat Imam Abu Hasan Ali bin Hazim (w : 215 H). Penambahan huruf  alif  dan lam  atau al, pada awal kata menunjuk pada kekhusususan tentang sesuatu yang dibaca, yaitu bacaan yang diyakini sebagai wahyu Allah SWT. Sedang penambahan  huruf alif dan nun pada akhir kata menunjuk pada makna suatu bacaan yang paling sempurna. Kekhusususan dan kesempurnaan suatu bacaan tersebut berdasar pada firman Allah SWT sendiri yang terdapat dalam QS Al Qiyamah (75):17-18 dan QS. Fushshilat (41): 3.
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah (Allah SWT) mengumpulkan didadamu dan membuatmu pandai membacanya , jika Kami (Allah SWT) telah selesai membacanya, maka ikutilah (sistem) bacaan itu“.

“ Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa arab untuk kaum yang mengetahui”. (QS. Fushshilat (41): 3)
Secara istilah (terminologi), para pakar Al Qur’an memberikan definisi diantaranya :
a.    Menurut Muhammad Ali Al Shobuni
Firman Allah SWT yang mengandung mukjizat yang diturunkan kepada nabi dan rosul terakhir dengan perantaraan Jibril AS yang tertulis dalam mushafdan sampai kepada kita dengan mutawattir (bersambung ).
b.   Menurut  Muhammad Musthofa Al Salabi
Kitab yang diturunkan kepada nabi Muhammmad SAW, untuk memberi hidayah kepada manusia dan menjelaskan mana jalan yang benar dan harus dijalani yang dibawa oleh Jibril AS dengan lafadz dan maknanya.
c.    Menurut Khudhari Beik
Firman Allah SWT yang berbahasa arab yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, untuk dipahami dan selalu diingat, disampaikan secara mutawattir (bersambung), ditulis dalam satu mushaf yang diawali dengn surat al Fatihah dan diakhiri dengan surat al Naas.


2.    Dasar
a.    Al Qur’an
“ dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujianterhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang…” (QS. Al Maidah ; 48)
“ Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat” (QS. An Nisa’ : 105)

b.   Hadis
Hadis Nabi SAW ;
uf
"Aku tinggalkan di antara kamu semua dua perkara; yang kamu semua tidak akan tersesat selama kamu semua berpegang teguh kepada dua perkara itu; yaitu kitab Allah (Al-Qur'an) dan Sunnah Rasul (Al-Hadis)." (H.R.Muslim)

3.    Sifat Al Qur’an dalam Menetapkan Hukum
a.     Tidak Menyulitkan

 “… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…”.(QS. Al Baqarah; 185)
                                         
b.    Menyedikitkan beban

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu…”(QS Al Maidah; 101)

c.         Bertahap dalam pelaksanaanya
Dalam mengharamkan khamr ditetapkan dalam tiga proses
1)   Menjelaskan manfaat khamar lebih kecil dibanding akibat buruknya

“ Mereka bertanya kepadamu tentang khamardan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir “(QS. Al Baqarah; 219)
2)          Melarang pelaku shalat dalam keadaan mabuk
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan …”.(QS. An Nisa’; 43)
3)        Menegaskan hukum haram kepada khamar dan perbuatan buruk lainya

“ Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. “(QS. Al Maidah; 90)

d.  Membatasi yang Mutlak
Kadang-kadang ayat datang dalam bentuk mutlak, tanpa batasan-batasan yang harus dilaksanakan, seperti ayat tentang pencurian

 “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al Maidah (5): 38)
Pada ayat ini kata aidiyahuma (ايديهما), padahal yang dikenal dengan istilah tangan adalah dari ketiak sampai ibu jari, maka Rasul membatasinya dengan ucapan Beliau “Potong tangan pencuri sampai pada pergelangan tangan.” Begitu juga keadaan barang-barang yang dicuri sehingga harus potong tangan dibatasi minimal seperempat dirham.

e. Mengkhususkan yang Umum
Ayat-ayat al-Qur’an kadang-kadang mengandung hukum yang berlaku umum, maka Nabi SAW., menjelaskan pengecualiannya seperti masalah waris,

“ Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan  dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S An Nisa’: 11)
Rasul menjelaskan pengecualian-pengecualianya seperti:
a.    Para Nabi tidak mewarisi.
b.   Anak yang membunuh orang tuanya dan anak yang  kafir tidak mewarisi



4.   Garis Besar Hukum dalam Al Qu’an
a.    Hukum-hukum yang mengatur perhubungan manusia dengan AllahSWT, yang disebut ibadah. Ibadah ini dibagi tiga;
1)   Bersifat ibadah semata-mata, yaitu salat dan puasa.
2)   Bersifat harta benda dan berhubungan dengan masyarakat, yaitu zakat.
3)   Bersifat badaniyah dan berhubungan juga dengan masya-rakat, yaitu hajji.
Ketiga macam ibadah tersebut dipandang sebagai pokok dasarIslam, sesudah Iman. Hukum-hukum dan peraturan-peraturanyang berhubungan dengan ibadah bersifat tetap tidak berubah.
b.   Hukum-hukum yang mengatur pergaulan manusia (perhubungan sesama manusia), yaitu yang disebut mu'amalat. Hukum menyangkut muamalah ini dibagi empat :
1)   Berhubungan dengan jihad.
2)   Berhubungan dengan penyusunan rumah tangga, seperti kawin, cerai, soal keturunan, pembagian harta pusaka dan Iain-lain.
3)   Berhubungan dengan pergaulan hidup manusia, seperti jual-beli, sewa-menyewa, perburuhan dan Iain-lain. Bagian ini disebut mu'amalat juga (dalam arti yang sempit).
4)   Berhubungan dengan soal hukuman terhadap kejahatan, seperti qisas, hudud dan lain-lain. Bagian ini disebut jinayat (hukum pidana).
Hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan masyarakat (mu'amalat) dapat dimasuki akal dan fikiran. Dia berdasar-kan kemaslahatan dan kemanfaatan. Kemaslahatan dan kemanfaatan inilah yang menjadi jiwa agama. Atas dasar kemaslahatan dan keman­faatan ini, hukum-hukum itu dapat disesuaikan dengan segenap ternpat dan masa.

5.   Kedudukan Al Qur’an sebagai Sumber Hukum
Kedudukan Al-Qur'an merupakan satu-satunya sumber yang pertama dan paling utama dalam hukum-Islam, sebelum sumber-sumber hukum yang lain. Sebab Al Qur'an merupakan Undang-Undang Dasar tertinggi bagi umat Islam, sehingga semua hukum dan sumber hukum tidak boleh bertentangan dengan Al Qur'an.
Kebanyakan hukum yang ada dalam Al Qur'an bersifat umum (kulli) tidak membicarakan soal-soal yang kecil-kecil (juz’i), artinya tidak satu persatunya soal dibicarakan. Karena itu, Al Qur'an memerlukan penjelasan-penjelasan. Demikianlah, maka seluruh Hadis dengan bermacam-macam persoalannya merupakan penjelasan terhadap Al Qur'an. Meskipun dengan serba singkat, Al Qur'an sudah melengkapi semua persoalan yang berhubungan dengan dunia dan akhirat. Syari'at Islam telah menjadi sempurna dengan berakhirnya penunman Al Qur'an, sebagaimana yang difirmankan Allah dalam QS. Al Maidah; 3,

“ …pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Sebagaimana kita ketahui, salat, zakat, jihad dan urusan-urusan ibadah lainnya, hukum-hukurnnya dalam Al Qur'an terlalu umum. Maka yang menjelaskan ialah hadis. Demikian pula urusan mu'amalat seperti pernikahan, qisas, hudud dan Iain-lain masih membutuhkan penjelasan.
Menurut Imam  Ghazali, ayat-ayat Al Qur'an yang berisi tentang hukum ada 500 ayat, dan terbagi  kepada dua macam, yaitu: ayat yang bersifat ijmali (global) dan ayat yang bersifat tafsili (detil). Ayat-ayat Al Qur'an yang berisi tentang hukum itu disebut dengan Ayatul Ahkam. Dasar bahwa  kedudukan Al Qur'an merupakan satu-satunya sumber yang pertama dan paling utama dalam hukum islam adalah firman Allah dalam QS. Al Maidah ; 49 (diatas)

6.   Fungsi Al Qur’an
a.    Sebagai Pedoman dan Petunjuk Hidup Manusia.
“Al Quran ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini.” (QS. Al Jatsiyah : 20)
b.   Sebagai Pembenar Penyempurna Kitab yang diturunkan sebelum Al Qur’an.
“Dia menurunkan Al kitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. Sebelum (Al Quran), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al Furqaan.Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai Balasan (siksa). “(QS. Ali Imran : 3-4)
c.    Sebagai Mu’jizat Nabi Muhammad SAW.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al Quran ketika Al Quran itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan Sesungguhnya Al Quran itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushshilat : 41-42)
d.     Membimbing manusia ke jalan keselamatan dan kebahagiaan
“... Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan 16. Dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (QS. Al Maidah : 15-16)
e.    Pelajaran dan penerang kehidupan,

 “…Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.” (QS. Yasiin : 69)
“…dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS An Nahl : 89)

B.     Hadis
1.   Pengertian
Sunnah menurut bahasa dapat diartikan sebagai jalan yang ditempuh, kebiasaan yang sering dilakukan, sesuatu yang dilakukan para sahabat, baik yang berdasarkan Al-Qur'an maupun tidak, dan sebagai kebalikan dari kata bid'ah. Sedangkan menurut istilah, sunnah ialah segala hal yang datang dari Nabi Muhammad saw., baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan dan cita-cita nabi SAW.
Sudah disepakati oleh Ulama, bahwa Sunnah dapat berdiri sendiri dalam mengadakan hukum-hukum, seperti menghalalkan atau mengharamkan sesuatu. Kekuatannya sama dengan Al Qur'an.
2.   Dasar
a.   Al Qur’an
“… Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah…” (QS. Al Hasyr : 7)
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS. An Nisa’ : 59)
“ Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. An Nisa’ : 80)





b.   Hadis
mu
"(Rasul bertanya), bagaimana kamu akan menetapkan hukum bila dihadapkan padamu sesuatu yang memerlukan penetapan hukum? Mu'az menjawab: saya akan menetapkannya dengan kitab Allah. Lalu Rasul bertanya; seandainya kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah, Mu'az menjawab: dengan Sunnah Rasulullah. Rasul bertanya lagi, seandainya kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah dan juga tidak dalam Sunnah Rasul, Mu'az menjawab: saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri. Maka Rasulullah menepuk-nepuk belakangan Mu'az seraya mengatakan "segala puji bag! Allah yang telah menyelaraskan utusan seorang Rasul dengan sesuatu yang Rasul kehendaki". (HR. Abu Daud dan AI Tirmidzi).
Hadits Nabi SAW ;
"Wajib bagi sekalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa ar-Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya'. (HR. Abu Daud dan Ibn Majah).

c.    Ijma’ Ulama
Para ulama bersepakat untuk menetapkan hadis/sunnah sebagai sumber hukum dalam ajaran Islam berdasarkan kejadian-kejadian yang dapat ditelusuri sumbernya dari sejarah para sahabat yang berusaha sekuat kemampuannya uuntuk tidak melakukan di luar yang dicontohkan atau ditetapkan oleh Nabi SAW, sehingga dari rujukan itu para ulama berkesimpulan untuk mengikuti informasi sejarah menyangkut peristiwa-peristiwa yang terjadi di antaranya :
1)      Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata : "Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah SAW, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya."
2)      Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata : "Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah SAW menciummu, saya tidak akan menciummu."
3)      Pernah ditanyakan kepada Abdullah Ibnu Umar tentang ketentuan shalat safar dalam Al Qur’an. Ibnu Umar menjawab : "Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad saw. kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat sebagaimana duduknya Rasulullah SAW dan saya salat sebagaimana salatnya Rasul".
4)      Diceritakan dari Sa’ad bin Musayyab bahwa 'Usman bin Affan berkata : "Saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah SAW saya maka sebagaimana makannya Rasulullah SAW, dan saya salat sebagaimana salatnya Rasul.
Kerasulan Nabi Muhammad saw. telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT., baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham dari Tuhan.  Oleh karena itu, sudah selayaknya segala peraturan dan perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik untuk ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup. Disamping itu secara logika kepercayaan kepada Muhammad SAW sebagai Rasulullah mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.

3.   Kedudukan Hadis sebagai Sumber Hukum
Telah disepakati bahwa pengertian Hadis  sebagai segala yang disandarkan kepada Nabi SAW. yang dijadikan dasar hukum dalam memunculkan produk hukum dalam ajaran Islam. Hal ini dimungkinkan karena Nabi SAW adalah sosok yang mulia yang oleh Hadis dijadikan sebagai suri tauladan bagi umat manusia.
Posisi penting yang dimainkan oleh hadis  menempatkan dirinya sebagai pedoman bagi para ulama ahli ushul fiqih untuk menentukan hukum dalam ajaran Islam setelah tidak ditemukan keterangan tersebut dalam teks Hadis. Oleh karena itu, para ulama sepakat menempatkan hadis sebagai sumber pokok ajaran setelah Al Qur’an.
Penempatan hadis sebagai sumber pokok ajaran setelah Al Qur’an didasarkan atas argumen bahwa antara Al Qur’an dan hadis  terdapat perbedaan ditinjau dari segi redaksi dan cara penyampaian atau cara penerimaannya.
1.   Dari segi redaksi.
Diyakini bahwa Al Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang disusun langsung redaksinya oleh Allah SWT sedang malaikat Jibril a.s. sekedar penyampai wahyu tersebut kepada Nabi SAW. Dengan tanpa perubahan sedikitpun wahyu tersebut disampaikan Nabi SAW., kepada umatnya yang terlebih dahulu ditulis oleh sekretaris beliau yang khusus ditugasi menulis dengan disaksikan oleh beberapa sahabat untuk menjaga kemurnian wahyu Allah SWT tersebut. Sekaligus dihafal oleh para sahabat yang mempunyai kemampuan hafalan yang luar biasa dengan restu Nabi SAW., kemudian disampaikan secara mutawatir (melalui sejumlah orang dinilai mustahil mereka berbohong). Atas dasar ini Al Qur’an dinilai Qoth'iy (mempunyai nilai ketetapan tang otentik tanpa ada perubahan sedikitpun).
2.   Dari segi penyampaian dan penerimaan.
Hadis yang pada umumnya disampaikan melalui hafalan orang-perorang (sahabat) dengan tanpa tulisan. Hal ini karena Nabi SAW melarang menulisnya, kecuali wahyu Allah SWT. Oleh sebab itu hanya didapati redaksi hadis/sunnah yang nampak berbeda satu dengan yang lain walau makna yang dimunculkan sama. Di samping itu para ulama' ahli hadis (muhadditsin) walau hadis ada yang menulisnya tetapi hafalan andalan utama mereka. Dalam sejarahnya hadis/sunnah, baru mulai ditulis dan dikumpulkan untuk diuji dan diteliti tingkat kehandalan hadis sebagai dasar produk hukum baru dimulai satu abad setelah Nabi SAW wafat. Oleh karena hadis/sunnah dari aspek redaksinya merupakan hasil dari hafalan sahabat dan tabi'in, maka otentisitasnya adalah dhanny yaitu atas sangkaan tertentu tergantung dari tingkat hafalan para sahabat dan tabi'in. Dan wajar bila posisinya ditempatkan di bawah Hadis sebagai sumber pokok ajaran Islam.

4.   Fungsi Hadis terhadap Al Qur’an
a.   Bayan Taqrir ( بيان التقرير )
Adalah fungsi hadis/sunnah terhadap Al Qur’an dengan menetapkan dan menguatkan atau menggaris bawahi kembali maksud redaksi wahyu (Al Qur'an). Bayan Taqrir disebut juga Bayan Ta'kid (بيان التأكيد) atau Bayan Isbat (بيان الإثبات)
Contoh : Hadis/sunnah tentang penentuan kalender bulan berkenaan dengan kewajiban di bulan Ramadhan
فَإِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَاَفْطِرُوْا. (رواه مسلم)
“Apabila kalian melihat bulan, maka puasalah, juga apabila melihat bulan, berbukalah”. (HR. Muslim)

Hadis  ini mentaqrir ayat,
”Maka barangsiapa yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa”. (QS. Al Baqarah: 185)
Contoh : Hadis/sunnah yang menerangkan tentang pentingnya mendirikan shalat dengan mantap dan berkesinambungan, karena di antara salah satu fungsinya adalah mencegah kemungkaran. Oleh sebabnya, shalat dianggap sebagai tiang agama.
اَلصَّلاَةُ عِمَادُ الدِّيْنَ فَمَنْ أَقَامَهُ فَقَدْ أَقَامَ الدِّيْنَ, فَمَنْ تَرَكَهُ فَقَدْ هَدَمَ الدِّيْنَ. (رواه البيهقى)
“Shalat adalah tiang agama, siapa yang mendirikannya sama dengan menegakkan agama dan siapa yang meninggalkan sama dengan merobohkan agama”.(HR. Baihaqi)
Hadis tersebut menggaris bawahi atau menekankan ketentuan pada QS. Al Ankabut (29) : 45
“... dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar, dan mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain)”.
Contoh : Hadis/sunnah tentang kewajiban suci dari hadats kecil dengan berwudhu,  ketika hendak mengerjakan shalat
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأْ. (رواه البخارى)
“Tidak diterima shalat seseorang yang berhadats sebelum wudhu.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menguatkan QS. Al Maidah (5) : 6
“Apabila kamu (orang beriman) hendak mendirikan shalat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki”.
b.   Bayan Tafsir ( بيان التفسير )
Adalah fungsi hadis/sunnah berkenaan dengan menjelaskan atau memberikan keterangan atau menafsirkan redaksi Al Qur’an, merinci keterangan Al Qur’an yang bersifat global (umum) dan bahkan membatasi pengertian lahir dari teks Al Qur’an atau mengkhususkan (taksis) terhadap redaksi ayat yang masih bersifat umum.
Contoh : Hadis/Sunnah menafsirkan QS. Al Qodr (97) : 1-5
1. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.
2. Dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu? 3. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. 4. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. 5. Malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar.
Nabi SAW,. memberi penjelasan tentang waktu (terjadinya) Lailatul Qodar, seperti dalam Hadis ;
... الَّيْلَةُ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنْ عَشْرِ اْلأَواَخِرِ مِنْ رَمَضَانِ. (رواه البخارى)
“…(malam) lailatul qadr berada pada malam gajil pada sepuluh akhir bulan ramadhan”.
Contoh : Hadis/Sunnah yang merinci cara ( kaifiat) tayamum, seperti yang diperintahkan oleh QS. Al Maidah (5) : 6 dengan redaksi :
“…maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu …”.
Rincian tentang cara tayamum tersebut diterangkan dalam hadis/sunnah berikut :
اَلتَّيَمَّمُ ضَرْبَتَانِ : ضَرْبَةُ لِلْوَجْهِ وَضَرْبَةُ لِلْيَدَيْنِ. (رواه الدارقطنى)
“Tayamum itu dua kali tepukan: sekali tepukan untuk wajah dan sekali tepukan untuk kedua tangan”. (HR. Daruquthny)
Contoh: Hadis yang membatasi keumuman makna redaksi Al Qur'an QS. Al Maidah (5) : 38
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang ia kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah …..”.
Nabi SAW menjelaskan tentang hukuman potong tangan bagi pencuri, yaitu hanya sampai pergelangan tangan atau tidak pada keseluruhan tangan pencuri baik kanan maupun kiri, seperti redaksi Al Qur'an
أُتِيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلْعَمْ  بِسَارِقٍ فَقَطَعَ يَدَهُ مِنْ مِقْصَلِ الْكَفِّ
“Rasul SAW Didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan”.
Contoh: Hadis yang membatasi keumuman maksud QS. Al Maidah (5) : 3
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi …….”.
Nabi SAW., menjelaskan tentang pengkhususan bangkai dan darah yang dibolehkan/dihalalkan oleh hadis atas keumuman pengharaman dalam
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ , فَأَمَّالْمَيْتَتَانِ فَالْجَرَادُ وَالْحُوْتُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالِطّحَالُ وَالْكَبِدُ.     (رواه احمد وابن ماجة)
“Dihalalkan bagi kamu dua bangkai dan dua darah, adapun dua bangkai adalah belalang dan ikan, dan dua darah adalah limpa dan hati”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majjah)

c.    Bayan Tasyri’ ( بيان التشريع )
Adalah fungsi hadis/sunnah dalam menetapkan hukum yang tidak dijelaskan oleh Al Qur'an. Hal ini dilakukan atas inisiatif Nabi SAW Atas berkembangnya permasalahan sejalan dengan luasnya daerah penyebaran Islam dan beragamnya pemikiran para pemeluk Islam.
Inisiatif yang diambil Nabi SAW Didasarkan atas teks kitab suci yang ada, memberi peluang seluas-luasnya kepada pemeluk Islam untuk menaati segala yang datang dari Nabi SAW baik perkataan, perbuatan dan ketetapan-ketetapannya yang mustahil bertentangan dengan Allah SWT dan akal manusia, demi akan kepastian hukum. Sehingga keteraturan hidup tetap terjaga. Pada tataran ini, Nabi SAW berusaha menjelaskan dan menjawab pertanyaan yang muncul dari beberapa sahabat atas beberapa hal yang tidak diketahuinya, yang tentunya jawaban itu didasarkan atas petunjuk Allah SWT juga.
Dalam hal ini, produk hukum atas inisiatif Nabi SAW diantaranya : larangan Nabi SAW  atas suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri yang pada lahirnya teks berbeda dengan bunyi QS. An Nisa’ (4): 23 di mana pada ayat ini hanya menjelaskan tentang larangan penggabungan (menghimpun) dua saudara untuk dinikahi saja.
“…dan (diharamkan) menghimpunkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lalu…..”.
Selengkapnya pernyataan Nabi SAW adalah sebagai berikut: “Tidak dibenarkan menghimpun dalam pernikahan seorang wanita dengan saudara perempuan bapaknya, tidak juga dengan saudara perempuan ibunya, tidak juga dengan anak perempuan saudaranya yang lelaki dan tidak juga dengan akan saudaranya yang perempuan.” (HR.Muslim,AbuDawud,Tirmidzi,Nasai).Al Thabrani menambahkan “karena kalau itu kamu lakukan, kamu memutus hubungan kekeluargaan kamu “ (HR. Tabrani).
Pada masalah zakat misalnya, Al Qur'an tidak secara jelas menyebut berapa yang harus dikeluarkan seorang muslim dalam mengeluarkan zakat fitrah. Nabi SAW menjelaskan dalam hadis/sunnahnya sebagai berikut :
زَكاَةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعاً مِنْ تَمْرٍ أَوْصَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلىَ كُلِّ حُرٍّ أَوْعَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ المْسُلِمِيْنَ. (رواه البخارى ومسلم)
“Rasul telah mewajibkan zakat fitrah kepada manusia (muslim). Pada bulan ramadhan satu sho' (zukat) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau sahaya, laki-laki atau perempuan muslim”.  (HR. Bukhari dan Muslim)
 Juga larangan menikahi seorang wanita sesusuan karena telah dianggap muhrim (senasab) seperti hadis/sunnah Nabi SAW.
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا حَرَّمَ مِنَ النَّسَبِ. (متفق عليه)
“Sungguh Allah tidak mengharamkan menikahi seseorang karena sepersusuan, sebagaimana Allah telah mengharamkannya karena senasab”. (HR. Muttafaq Alaih)

C.    Ijma’
1.   Pengertian
Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara yang tidak dimukan dasar hukumnya dalam Al Qur’an dan Hadis.
Hal yang demikian pernah dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah SAW., ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul SAW., ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.
Jadi obyek ijmâ’ ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam Al Qur'an dan Hadits.
2.   Dasar
a.   Al Qur’an
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisa’ : 59)
Kata ulil amri yang terdapat pada ayat di atas mempunyai arti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid. Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
“ dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, …” (QS. Ali Imran ; 103)
“dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itudan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’ ; 115).
Pada ayat ini Allah swt melarang untuk:
a.    Menyakiti/ menentang Rasulullah.
b.   Membelot/ menentang jalan yang disepakati kaum mu’minin.
Ayat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i ketika ada yang menanyakan apa dasarnya bahwa kesepakatan para ulama bisa dijadikan dasar hukum. Imam Syafii menunda jawaban atas pertanyaan orang tersebut sehingga tiga hari, beliau mengulang-ulang hafalan Al Qur’an  hingga menemukan ayat ini. Contoh Ijma’: kewajiban shalat lima waktu.

b.   Hadis
Sabda Rasulullah SAW:
لا تجتمع أمتي على ضلالة 
"Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan".
Apabila para mujtahid telah melakukan ijmâ’ dalam menentukan hukum syara' dari suatu permasalahan hukum, maka keputusan ijmâ’ itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta.
Sabda Rasulullah SAW:
فمن أراد بحبوحة الجنة فيلزم الجماعة
“Apabila seseorang menginginkan kemakmuran surga, hendaknya selalu berjamaah”.
Dalam hadits diatas Imam Syafi’i berkomentar: “Jika keberadaan para mujtahid tersebar diseluruh penjuru dunia, dan apabila tidak dimungkinkan bertemu langsung tetapi pendapatnya dapat sampai pada sejumlah mujtahid, maka dapat terjadi ijmâ’ dalam menetapkan sebuah hukum. Dan ketetapan para mujtahid ini dianggap sebagai ijmâ’, dan apabila ada yang mengingkarinya maka harus ditemukan bukti dan dalil baru untuk keputusan ijmâ’ tersebut”.
c.    Dalil Aqliah
Setiap ijmâ’ yang ditetapkan menjadi hukum syara', harus dilakukan dan disesuaikan dengan asal-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasal-dasar pokok ajaran Islam, batal-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyâs, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi Al Qur'ân dan Hadis, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.
3.   Rukun Ijma’
Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’. Kesepakatan itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:
a.    Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.
b.   Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.
c.    Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.
d.   Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.
Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu.
Selanjutnya mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus
4.   Syarat-syarat Mujtahid
Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
a.    Memiliki pengetahuan dasar berkaitan dengan,
1)   Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
2)   Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
3)   Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
b.   Memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
c.    Menguasai ilmu bahasa Arab.
Selain itu, Al Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al Syariah.
5.   Macam-macam Ijma’
a.   Ditinjau dari segi terjadinya
1)   ljma' sharîh/qouli/bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan, seperti hukum masalah ini halal dan tidak haram.
2)   Ijmâ’ sukûti/iqrâri yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya.
Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan ijma’ sukûti ini: ada yang menyatakan sebagai dalil qath’î dan ada yang berpendapat sebagai dalil dzhannî.
Sebab-sebab terjadinya perbedaan adalah: keadaan diamnya sebagian mujtahid tersebut mengandung kemungkinan adanya persetujuan atau tidak. Apabila kemungkinan adanya persetujuan: maka hal ini adalah dalil qath’î, dan apabila ada yang tidak menyetujui: maka hal itu bukanlah sebuah dalil, dan apabila ada kemungkinan memberi persetujuan tetapi dia tidak menyatakan: maka hal ini adalah dalil dzhannî.
Dalam hal ini ada perbedaan diantara ulama madzhab: ulama malikiyah dan syafi’iyyah menyatakan ijmâ’ sukûti bukan sebagai ijmâ’ dan dalil. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan hanabilah menyatakan bahwa ijmâ’ ini dapat dinyatakan sebagai ijmâ’ dan dalil qath’î.
b.   Ditinjau dari segi keyakinan
1)   ljma' qath'î, yaitu hukum yang dihasilkan ijmâ’ itu adalah sebagai dalil qath'î diyakini benar terjadinya.
2)   ljma' zhannî, yaitu hukum yang dihasilkan ijmâ’ itu dzhannî, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijmâ’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
c.    Ditinjau dari Waktunya
1)   Ijmâ’ sahabat, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
2)   Ijmâ’ khulafaurrasyidin, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijmâ’ tersebut tidak dapat dilakukan lagi;
3)   Ijmâ’ shaikhan, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
4)   Ijmâ’ ahli Madinah, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijmâ’ ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi'i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;
5)   Ijmâ’ ulama Kufah, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijmâ’ ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.

D.    Qiyas
1.   Pengertian
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
Menurut Wahbah Zuhaili mendefinisikan qiyâs dengan, menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara keduanya.
Jadi suatu Qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benarbenar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena itu tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melakukan Qiyas, ialah mencari: apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan Qiyas.
Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.

2.   Dasar
a.   Al Qur’an
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (QS. Al Hasyr :2)
Dari ayat di atas bahwasanya Allah memerintahkan kepada kita untuk  mengambil pelajaran, kata i’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisa’ : 59)
Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan  kembali kepada Allah dan Rasul (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.
b.   Hadis
Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.
c.    Ijma’
Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata qiyas. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Disamping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan wajib diamalkan.
Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan.Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.
d.   Dalil Akliah
Dalil yang keempat adalah dalil rasional.
1)   Allah mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum.
2)   Nash baik Al Qur’an maupun hadis jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Dengan qiyas akan tersingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.
3.   Kedudukan Qiyas Menurut Ulama
Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
a.    Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat sahabat maupun ijma ulama.
b.   Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
c.    Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat/sebab. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.
4.   Rukun Qiyas
Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
a.    Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya (al maqis alaihi).
Para fuqaha mendefinisikan al ashlu sebagai objek qiyâs, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya (al-maqîs ‘alaihi), dan musyabbah bih (tempat menyerupakan), juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
Imam Al Amidi dalam Al Mathbu’ mengatakan bahwa al ashlu adalah sesuatu yang bercabang, yang bisa diketahui (hukumnya) sendiri.
Contoh, pengharaman ganja sebagai qiyâs dari minuman keras adalah dengan menempatkan minuman keras sebagai sesuatu yang telah jelas keharamannya, karena suatu bentuk dasar tidak boleh terlepas dan selalu dibutuhkan. Dengan demiklian maka al-aslu adalah objek qiyâs, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya.
b.   Furu’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya (al-maqîs), karena tidak terdapat dalil nash atau ijma’ yang menjelaskan hukumnya.
c.    Hukm Al Asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Atau hukum syar’i yang ada dalam nash atau ijma’, yang terdapat dalam al ashlu.
d.   Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.

5.   Contoh Qiyas
a.   Pengharaman mengkonsumsi minuman keras
Hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,  adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah ; 90)
Haramnya meminum khamar berdasar illat/sebab hukumnya adalah memabukan yakni menghilangkan akal sehat. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.
b.   Terhalangya warisan bagi pembunuh
Si A telah menerima wasiat dari B bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang telah ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera memperoleh tanah yang diwasiatkan, karena itu dibunuhnyalah B. Timbul persoalan: Apakah A tetap memperoleh tanah yang diwasiatkan itu? Untuk menetapkan hukumnya dicarilah kejadian yang lain yang ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya. Perbuatan itulalah pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh harta warisan. Sehubungan dengan itu Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: "Orang yang membunuh (orang yang akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi." (HR. Tirmidzi)
Antara kedua peristiwa itu ada persamaan 'illatnya, yaitu ingin segera memperoleh sesuatu sebelum sampai waktu yang ditentukan. Berdasarkan persamaan 'illat itu dapat ditetapkan hukum bahwa si A haram memperoleh tanah yang diwariskan B untuknya, karena ia telah membunuh orang yang telah berwasiat untuknya, sebagaimana orang yang membunuh orang yang akan diwarisinya, diharamkan memperolah harta warisan dari orang yang telah dibunuhnya.
c.    Makruh beraktifitas  bila adzan shalat jum’at berkumandang
Terus melakukan sesuatu pekerjaan, seperti mencangkul di sawah, bekerja di kantor, dan sebagainya setelah mendengar adzan untuk melakukan shalat Jum'at belum ditetapkan hukumnya. Lalu dicari perbuatan lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya, yaitu terus menerus melakukan jual beli setelah mendengar adzan Jum'at, yang hukumnya makruh. Berdasar firman AIIah SWT:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila diserukan (adzan) untuk sembahyang hari Jum'at, maka hendaklah segera mengingat Allah (shalat Jum'at) dan meninggalkan jual-beli. Yang demikian itu lebih baik untukmu jika kamu mengetahui." (QS. Al Jumu'ah: 9)
Antara kedua pekerjaan itu ada persamaan 'illatnya, karena itu dapat pula ditetapkan hukum mengerjakan suatu pekerjaan setelah mendengar adzan Jum'at, yaitu makruh seperti hukum melakukan jual-beli setelah mendengar adzan Ju'mat.
  
SOAL EVALUASI

Berilah tanda silang (x) huruf a, b, c, d, atau e pada jawaban yang benar !

1.  Ijtihad berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihad yang berarti……
a.       Bersungguh-sungguh                          d. berfikir
b.      Berjuang                                              e. bermusyawarah
c.       Berperang
2.      Perkara yang memerlukan ijtihad para ulama adalah…..
a.       Hukum daging babi
b.      Qasar ketika dalam kondisi safar
c.       Memberikan dukungan kepada calon pemimpin non islam di negara barat
d.      Memakan bangkai ketika kondisi darurat
e.       Penggunaan khamar untuk penyembuhan
3.      Jumud adalah istilah untuk menyebut……
a.       Kemajuan berfikir
b.      Kemajuan zaman
c.       Pola pikir
d.      Kekakuan dalam berfikir
e.       Pikiran yang jernih
4.      Mengikuti pendapat ulama secara apa adanya tanpa mengetahui dalil-dalil g digunakan dinamakan……..
a.       Ijtihad                                                  d. muqalid
b.      Istinbat                                                            e. ittiba’
c.       Taklid
5.      Ijtihad fi akhrij ahkam  merupakan istilah dalam…….
a.       Menentukan penindak hokum
b.      Mengesampingkan hokum yang ada
c.       Mencari sumber hokum
d.      Menerapkan hokum
e.       Mengeluarkan hokum

6.  Hokum ijtihad bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu masalah, dan masalh itu akan hilang sebelum hukumnya diketahui adalah……
a.       Sunah
b.      Fardu ‘ain
c.       Fardu kifayah
d.      Makruh
e.       Haram

7.      Tiga hal yang termasuk sumber hokum ijtihad yang tepat adalah…
a.       Al-Quran, sunah, dan aqliyah
b.      Al-Quran,  sunah, dan ijmak
c.       Qiyas, Al-Quran, dan sunah
d.      Ijma’, Qiyas, dan Al-Quran
e.       Aqliyah, Al-Quran, dan ijma’
8.  ayat Al-quran yang menjadi dasar hokum bagi pelaksanaan ijtihad adalah….
a.   Q.S. al-baqarah (2) :269
b. Q.S. an-Nosa’ (4) :58
c. Q.S.  Ali Imran (3) ; 159
d. Q.S. an-Nur (24) : 55
e. Q.S. an-Nisa’ (4)59
9.Orang yang brhak melakukan ijtihad disebut dengan….
a.       Mujahid
b.      Mujadid
c.       Mujtahid
d.      Munjid
e.       Murabi


10.Mengetahui semua ayat dan hadis yang berhubungan dengan  hukun merupakan….
a. Syarat orang pelaku ijtihad
b. Alasan ambisebuah ijtihad
c. Tujuan mulia dari ijtihad
d. Syaraa yang digunakan berijtihad
e. Sumber hokum ijtihad 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAB III SUMBER HUKUM ISLAM YANG DIPERSELISIHKAN

Macam-macam hukum syar'i

Al Hukmusy Syar'i