BAB IV IJTIHAD
Ijtihad from lulumustafiyah
BAB IV
IJTIHAD
Kata sumber hukum islam merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al Ahkâm. Kata tersebut tidak
ditemukan dalam kitab-kitab hukum islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan
ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti
sumber hokum islam, mereka menggunakan al adillah al Syar’iyyah. Masâdir
al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan)
daripadanya untuk menemukan hukum.
Sumber hukum dalam islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam
yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an,
Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari
Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman. “Dari
Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya:
“Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum
dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?,
ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika
tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan
tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan
berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz)
dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”.(HR. Abu Daud dan AI Tirmidzi).
KD
1.1 Menerima kebenaran sumber hukum syariat Islam
1.2 Meyakini bahwa kemampuan berijtihad merupakan anugerah
dari Allah
2.1 Memiliki sikap toleran dan saling menghargai sebagai
implementasi dari pemahaman mengenai sumber hukum Islam yang muttafaq
dan mukhtalaf
2.4 Menunjukkan rasa
cinta ilmu sebagai implementasi dari hikmah materi ijtihad
3.3 Mengidentifikasi sumberhukum Islam yang muttafaq dan mukhtalaf
3.4 Menjelaskan pengertian,fungsi, dan
kedudukan ijtihad
4.2 Membuat
peta konsep berkaitan dengan sumber hukum Islam yang muttafaq dan mukhtalaf
Tujuan pembelajaran:
a.
Dengan kerja keras
melalui pengamatan siswa dapat menjelaskan macam-macam sumber hukum Islam yang
disepakati
b.
Melalui berdiskusi
dengan pasangannya dan penuh tanggung jawab maka peserta didik mampu
mendefinisikan sumber hukum Islam yang disepakati
c.
Setelah kegiatan
pembelajaran siswa dapat menjelaskan hikmah adanya sumber hukum yang disepakat
A. Pendalaman
Materi
Al Qur’an
1.
Pengertian
Secara
kebahasaan (etimologi), kata “al Qur’an”
adalah bentuk isim masdar dari kata “qa-ra-a” yang berarti membaca yaitu kata “qur-a-nan” yang berarti
yang dibaca. Demikian pendapat Imam Abu Hasan Ali bin Hazim (w :
215 H). Penambahan huruf alif dan lam atau al, pada awal kata menunjuk pada kekhusususan
tentang sesuatu yang dibaca, yaitu bacaan yang diyakini sebagai wahyu Allah
SWT. Sedang penambahan huruf alif dan
nun pada akhir kata menunjuk pada makna suatu bacaan yang paling
sempurna. Kekhusususan dan kesempurnaan suatu bacaan tersebut berdasar pada
firman Allah SWT sendiri yang terdapat dalam QS Al Qiyamah (75):17-18 dan QS.
Fushshilat (41): 3.
“Sesungguhnya atas tanggungan
Kamilah (Allah SWT) mengumpulkan didadamu dan membuatmu pandai membacanya ,
jika Kami (Allah SWT) telah selesai membacanya, maka ikutilah (sistem) bacaan
itu“.
“ Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa
arab untuk kaum yang mengetahui”. (QS. Fushshilat (41): 3)
Secara
istilah (terminologi), para pakar Al Qur’an memberikan definisi diantaranya :
a. Menurut Muhammad Ali
Al Shobuni
Firman Allah SWT yang mengandung mukjizat yang diturunkan kepada nabi
dan rosul terakhir dengan perantaraan Jibril AS yang tertulis dalam mushafdan
sampai kepada kita dengan mutawattir (bersambung ).
b. Menurut Muhammad Musthofa Al Salabi
Kitab yang diturunkan kepada nabi Muhammmad SAW, untuk memberi hidayah
kepada manusia dan menjelaskan mana jalan yang benar dan harus dijalani yang
dibawa oleh Jibril AS dengan lafadz dan maknanya.
c. Menurut
Khudhari Beik
Firman Allah SWT yang berbahasa arab yang diturunkan kepada nabi
Muhammad SAW, untuk dipahami dan selalu diingat, disampaikan secara mutawattir
(bersambung), ditulis dalam satu mushaf yang diawali dengn surat al Fatihah dan
diakhiri dengan surat al Naas.
2.
Dasar
a.
Al Qur’an
“
dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan
apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu
ujianterhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka
menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang…” (QS. Al Maidah ; 48)
“
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah),
karena (membela) orang-orang yang khianat”
(QS. An Nisa’ : 105)
b.
Hadis
Hadis Nabi SAW ;
"Aku tinggalkan di antara kamu semua dua perkara;
yang kamu semua tidak akan tersesat selama kamu semua berpegang teguh kepada
dua perkara itu; yaitu kitab Allah (Al-Qur'an) dan Sunnah Rasul
(Al-Hadis)." (H.R.Muslim)
3.
Sifat Al Qur’an dalam Menetapkan Hukum
a.
Tidak Menyulitkan
“… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu…”.(QS. Al Baqarah; 185)
b.
Menyedikitkan beban
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan
menyusahkan kamu…”(QS Al Maidah; 101)
c.
Bertahap dalam
pelaksanaanya
Dalam mengharamkan khamr ditetapkan dalam tiga
proses
1) Menjelaskan manfaat khamar lebih kecil dibanding akibat buruknya
“ Mereka bertanya
kepadamu tentang khamardan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa
yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar
dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir “(QS. Al Baqarah; 219)
2)
Melarang pelaku shalat dalam keadaan mabuk
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan …”.(QS. An Nisa’; 43)
3)
Menegaskan hukum haram kepada khamar dan
perbuatan buruk lainya
“ Hai orang-orang yang
beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. “(QS. Al Maidah; 90)
d.
Membatasi yang
Mutlak
Kadang-kadang ayat datang dalam bentuk mutlak, tanpa
batasan-batasan yang harus dilaksanakan, seperti ayat tentang pencurian
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (Q.S. Al Maidah (5): 38)
Pada ayat ini kata aidiyahuma (ايديهما), padahal yang dikenal
dengan istilah tangan adalah dari ketiak sampai ibu jari, maka Rasul
membatasinya dengan ucapan Beliau “Potong tangan pencuri sampai pada
pergelangan tangan.” Begitu juga keadaan barang-barang yang dicuri sehingga
harus potong tangan dibatasi minimal seperempat dirham.
e.
Mengkhususkan
yang Umum
Ayat-ayat al-Qur’an kadang-kadang mengandung hukum yang
berlaku umum, maka Nabi SAW., menjelaskan pengecualiannya seperti masalah waris,
“
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu
: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak
perempuan dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo
harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S An Nisa’: 11)
Rasul menjelaskan pengecualian-pengecualianya
seperti:
a.
Para Nabi tidak mewarisi.
b.
Anak yang membunuh orang tuanya dan anak
yang kafir tidak mewarisi
4.
Garis Besar Hukum dalam Al Qu’an
a. Hukum-hukum yang mengatur perhubungan manusia dengan
AllahSWT, yang disebut ibadah. Ibadah ini dibagi tiga;
1)
Bersifat ibadah semata-mata, yaitu
salat dan puasa.
2)
Bersifat harta benda dan
berhubungan dengan masyarakat, yaitu zakat.
3) Bersifat badaniyah dan berhubungan juga dengan
masya-rakat, yaitu hajji.
Ketiga macam ibadah tersebut dipandang sebagai pokok
dasarIslam, sesudah Iman. Hukum-hukum dan peraturan-peraturanyang berhubungan
dengan ibadah bersifat tetap tidak berubah.
b.
Hukum-hukum yang mengatur pergaulan
manusia (perhubungan sesama manusia), yaitu yang disebut mu'amalat. Hukum
menyangkut muamalah ini dibagi empat :
1)
Berhubungan dengan jihad.
2)
Berhubungan dengan penyusunan
rumah tangga, seperti kawin, cerai, soal keturunan, pembagian harta pusaka dan
Iain-lain.
3)
Berhubungan dengan pergaulan
hidup manusia, seperti jual-beli, sewa-menyewa, perburuhan dan Iain-lain.
Bagian ini disebut mu'amalat juga (dalam arti yang sempit).
4)
Berhubungan dengan soal hukuman
terhadap kejahatan, seperti qisas, hudud dan lain-lain. Bagian ini disebut jinayat (hukum pidana).
Hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan
masyarakat (mu'amalat) dapat dimasuki akal dan fikiran. Dia berdasar-kan
kemaslahatan dan kemanfaatan. Kemaslahatan dan kemanfaatan inilah yang menjadi
jiwa agama. Atas dasar kemaslahatan dan kemanfaatan ini, hukum-hukum itu dapat
disesuaikan dengan segenap ternpat dan masa.
5.
Kedudukan Al Qur’an sebagai Sumber Hukum
Kedudukan
Al-Qur'an merupakan satu-satunya sumber yang pertama dan paling utama dalam
hukum-Islam, sebelum sumber-sumber hukum yang lain. Sebab Al Qur'an merupakan
Undang-Undang Dasar tertinggi bagi umat Islam, sehingga semua hukum dan sumber
hukum tidak boleh bertentangan dengan Al Qur'an.
Kebanyakan
hukum yang ada dalam Al Qur'an bersifat umum (kulli) tidak membicarakan
soal-soal yang kecil-kecil (juz’i), artinya tidak satu persatunya soal
dibicarakan. Karena itu, Al Qur'an memerlukan penjelasan-penjelasan.
Demikianlah, maka seluruh Hadis dengan bermacam-macam persoalannya merupakan penjelasan
terhadap Al Qur'an. Meskipun dengan serba singkat, Al Qur'an sudah melengkapi
semua persoalan yang berhubungan dengan dunia dan akhirat. Syari'at Islam telah
menjadi sempurna dengan berakhirnya penunman Al Qur'an, sebagaimana yang
difirmankan Allah dalam QS. Al Maidah; 3,
“
…pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka
barang siapa terpaksa[398] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Sebagaimana
kita ketahui, salat, zakat, jihad dan urusan-urusan ibadah lainnya,
hukum-hukurnnya dalam Al Qur'an terlalu umum. Maka yang menjelaskan ialah
hadis. Demikian pula urusan mu'amalat seperti pernikahan, qisas, hudud dan
Iain-lain masih membutuhkan penjelasan.
Menurut
Imam Ghazali, ayat-ayat Al Qur'an yang
berisi tentang hukum ada 500 ayat, dan terbagi
kepada dua macam, yaitu: ayat yang bersifat ijmali (global) dan
ayat yang bersifat tafsili (detil). Ayat-ayat Al Qur'an yang berisi
tentang hukum itu disebut dengan Ayatul Ahkam. Dasar bahwa kedudukan Al Qur'an merupakan satu-satunya
sumber yang pertama dan paling utama dalam hukum islam adalah firman Allah dalam QS. Al Maidah ; 49 (diatas)
6.
Fungsi Al Qur’an
a. Sebagai Pedoman dan Petunjuk Hidup Manusia.
“Al Quran ini adalah pedoman bagi manusia,
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini.”
(QS. Al Jatsiyah : 20)
b. Sebagai Pembenar Penyempurna Kitab yang
diturunkan sebelum Al Qur’an.
“Dia menurunkan Al kitab (Al Quran) kepadamu
dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan
menurunkan Taurat dan Injil. Sebelum (Al Quran), menjadi petunjuk bagi manusia,
dan Dia menurunkan Al Furqaan.Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap
ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi
mempunyai Balasan (siksa). “(QS. Ali Imran : 3-4)
c. Sebagai Mu’jizat Nabi Muhammad SAW.
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengingkari Al Quran ketika Al Quran itu datang kepada mereka,
(mereka itu pasti akan celaka), dan Sesungguhnya Al Quran itu adalah kitab yang
mulia. Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun
dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushshilat : 41-42)
d. Membimbing
manusia ke jalan keselamatan dan kebahagiaan
“... Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya
dari Allah, dan kitab yang menerangkan 16. Dengan kitab Itulah Allah menunjuki
orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan
kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada
cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan
yang lurus. (QS. Al Maidah : 15-16)
e. Pelajaran
dan penerang kehidupan,
“…Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran
dan kitab yang memberi penerangan.” (QS. Yasiin : 69)
“…dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri.” (QS An Nahl : 89)
B.
Hadis
1.
Pengertian
Sunnah menurut bahasa dapat diartikan
sebagai jalan yang ditempuh, kebiasaan yang sering dilakukan, sesuatu yang
dilakukan para sahabat, baik yang berdasarkan Al-Qur'an maupun tidak, dan
sebagai kebalikan dari kata bid'ah. Sedangkan menurut istilah, sunnah ialah
segala hal yang datang dari Nabi Muhammad saw., baik berupa ucapan, perbuatan,
ketetapan dan cita-cita nabi SAW.
Sudah disepakati oleh Ulama, bahwa Sunnah
dapat berdiri sendiri dalam mengadakan hukum-hukum, seperti menghalalkan atau
mengharamkan sesuatu. Kekuatannya sama dengan Al Qur'an.
2.
Dasar
a.
Al Qur’an
“… Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah…” (QS. Al Hasyr
: 7)
“
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS.
An Nisa’ : 59)
“
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan
Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu
untuk menjadi pemelihara bagi mereka.”
(QS. An Nisa’ : 80)
b.
Hadis
"(Rasul bertanya), bagaimana kamu akan menetapkan
hukum bila dihadapkan padamu sesuatu yang memerlukan penetapan hukum? Mu'az
menjawab: saya akan menetapkannya dengan kitab Allah. Lalu Rasul bertanya;
seandainya kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah, Mu'az menjawab: dengan
Sunnah Rasulullah. Rasul bertanya lagi, seandainya kamu tidak mendapatkannya
dalam kitab Allah dan juga tidak dalam Sunnah Rasul, Mu'az menjawab: saya akan
berijtihad dengan pendapat saya sendiri. Maka Rasulullah menepuk-nepuk
belakangan Mu'az seraya mengatakan "segala puji bag! Allah yang telah
menyelaraskan utusan seorang Rasul dengan sesuatu yang Rasul kehendaki".
(HR. Abu Daud dan AI Tirmidzi).
Hadits Nabi SAW ;
"Wajib bagi sekalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan
Sunnah Khulafa ar-Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang
teguhlah kamu sekalian dengannya'. (HR. Abu Daud dan Ibn Majah).
c.
Ijma’ Ulama
Para ulama
bersepakat untuk menetapkan hadis/sunnah sebagai sumber hukum dalam ajaran
Islam berdasarkan kejadian-kejadian yang dapat ditelusuri sumbernya dari
sejarah para sahabat yang berusaha sekuat kemampuannya uuntuk tidak melakukan
di luar yang dicontohkan atau ditetapkan oleh Nabi SAW, sehingga dari rujukan
itu para ulama berkesimpulan untuk mengikuti informasi sejarah menyangkut peristiwa-peristiwa
yang terjadi di antaranya :
1)
Ketika
Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata : "Saya tidak
meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah
SAW, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya."
2)
Saat
Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata : "Saya tahu bahwa engkau
adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah SAW menciummu, saya tidak
akan menciummu."
3)
Pernah
ditanyakan kepada Abdullah Ibnu Umar tentang ketentuan shalat safar dalam Al
Qur’an. Ibnu Umar menjawab : "Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad saw.
kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat
sebagaimana duduknya Rasulullah SAW dan saya salat sebagaimana salatnya
Rasul".
4)
Diceritakan
dari Sa’ad bin Musayyab bahwa 'Usman bin Affan berkata : "Saya duduk
sebagaimana duduknya Rasulullah SAW saya maka sebagaimana makannya Rasulullah
SAW, dan saya salat sebagaimana salatnya Rasul.
Kerasulan
Nabi Muhammad saw. telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam
mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang
diterima dari Allah SWT., baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas
inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Oleh karena itu, sudah selayaknya segala
peraturan dan perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik untuk ditempatkan
sebagai sumber hukum dan pedoman hidup. Disamping itu secara logika kepercayaan
kepada Muhammad SAW sebagai Rasulullah mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan
segala ketentuan yang beliau sampaikan.
3.
Kedudukan Hadis sebagai Sumber Hukum
Telah
disepakati bahwa pengertian Hadis
sebagai segala yang disandarkan kepada Nabi SAW. yang dijadikan dasar
hukum dalam memunculkan produk hukum dalam ajaran Islam. Hal ini dimungkinkan
karena Nabi SAW adalah sosok yang mulia yang oleh Hadis dijadikan sebagai suri
tauladan bagi umat manusia.
Posisi
penting yang dimainkan oleh hadis
menempatkan dirinya sebagai pedoman bagi para ulama ahli ushul fiqih
untuk menentukan hukum dalam ajaran Islam setelah tidak ditemukan keterangan
tersebut dalam teks Hadis. Oleh karena itu, para ulama sepakat menempatkan
hadis sebagai sumber pokok ajaran setelah Al Qur’an.
Penempatan
hadis sebagai sumber pokok ajaran setelah Al Qur’an didasarkan atas argumen
bahwa antara Al Qur’an dan hadis
terdapat perbedaan ditinjau dari segi redaksi dan cara penyampaian atau
cara penerimaannya.
1.
Dari
segi redaksi.
Diyakini bahwa Al Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang disusun
langsung redaksinya oleh Allah SWT sedang malaikat Jibril a.s. sekedar
penyampai wahyu tersebut kepada Nabi SAW. Dengan tanpa perubahan sedikitpun
wahyu tersebut disampaikan Nabi SAW., kepada umatnya yang terlebih dahulu
ditulis oleh sekretaris beliau yang khusus ditugasi menulis dengan disaksikan
oleh beberapa sahabat untuk menjaga kemurnian wahyu Allah SWT tersebut.
Sekaligus dihafal oleh para sahabat yang mempunyai kemampuan hafalan yang luar
biasa dengan restu Nabi SAW., kemudian disampaikan secara mutawatir (melalui
sejumlah orang dinilai mustahil mereka berbohong). Atas dasar ini Al Qur’an
dinilai Qoth'iy (mempunyai nilai ketetapan tang otentik tanpa ada
perubahan sedikitpun).
2. Dari segi penyampaian dan penerimaan.
Hadis yang pada umumnya disampaikan melalui
hafalan orang-perorang (sahabat)
dengan tanpa tulisan. Hal ini karena
Nabi SAW melarang menulisnya, kecuali wahyu Allah SWT. Oleh sebab itu hanya
didapati redaksi hadis/sunnah yang nampak berbeda satu dengan yang lain walau
makna yang dimunculkan sama. Di samping itu para ulama' ahli hadis
(muhadditsin) walau hadis ada yang menulisnya tetapi hafalan andalan utama
mereka. Dalam sejarahnya hadis/sunnah, baru mulai ditulis dan dikumpulkan untuk
diuji dan diteliti tingkat kehandalan hadis sebagai dasar produk hukum baru
dimulai satu abad setelah Nabi SAW wafat. Oleh karena hadis/sunnah dari aspek
redaksinya merupakan hasil dari hafalan sahabat dan tabi'in, maka
otentisitasnya adalah dhanny yaitu atas sangkaan tertentu tergantung
dari tingkat hafalan para sahabat dan tabi'in. Dan wajar bila posisinya ditempatkan di bawah Hadis sebagai sumber pokok ajaran Islam.
4.
Fungsi Hadis terhadap Al Qur’an
a.
Bayan Taqrir ( بيان التقرير
)
Adalah
fungsi hadis/sunnah terhadap Al Qur’an dengan menetapkan dan menguatkan atau
menggaris bawahi kembali maksud redaksi wahyu (Al Qur'an). Bayan Taqrir
disebut juga Bayan Ta'kid (بيان التأكيد) atau Bayan Isbat (بيان الإثبات)
Contoh
: Hadis/sunnah tentang penentuan kalender bulan berkenaan dengan kewajiban di
bulan Ramadhan
فَإِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوْا
وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَاَفْطِرُوْا. (رواه مسلم)
“Apabila kalian melihat bulan, maka puasalah,
juga apabila melihat bulan, berbukalah”. (HR.
Muslim)
Hadis ini mentaqrir ayat,
”Maka barangsiapa yang
menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa”. (QS.
Al Baqarah: 185)
Contoh : Hadis/sunnah yang
menerangkan tentang pentingnya mendirikan shalat dengan mantap dan
berkesinambungan, karena di antara salah satu fungsinya adalah mencegah
kemungkaran. Oleh
sebabnya, shalat dianggap sebagai tiang agama.
اَلصَّلاَةُ عِمَادُ الدِّيْنَ فَمَنْ
أَقَامَهُ فَقَدْ أَقَامَ الدِّيْنَ, فَمَنْ تَرَكَهُ فَقَدْ هَدَمَ الدِّيْنَ. (رواه البيهقى)
“Shalat adalah tiang
agama, siapa yang mendirikannya sama dengan menegakkan agama dan siapa yang
meninggalkan sama dengan merobohkan agama”.(HR. Baihaqi)
Hadis tersebut menggaris bawahi atau
menekankan ketentuan pada QS. Al Ankabut (29) : 45
“... dan dirikanlah shalat, sesungguhnya
shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar, dan mengingat
Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain)”.
Contoh : Hadis/sunnah tentang kewajiban
suci dari hadats kecil dengan berwudhu,
ketika hendak mengerjakan shalat
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى
يَتَوَضَّأْ. (رواه البخارى)
“Tidak diterima shalat
seseorang yang berhadats sebelum wudhu.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menguatkan QS. Al Maidah (5) : 6
“Apabila kamu (orang beriman) hendak
mendirikan shalat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki”.
b.
Bayan Tafsir ( بيان التفسير
)
Adalah
fungsi hadis/sunnah berkenaan dengan menjelaskan atau memberikan keterangan
atau menafsirkan redaksi Al Qur’an, merinci keterangan Al Qur’an yang bersifat
global (umum) dan bahkan membatasi pengertian lahir dari teks Al Qur’an atau
mengkhususkan (taksis) terhadap redaksi ayat yang masih bersifat umum.
Contoh
: Hadis/Sunnah menafsirkan QS. Al Qodr (97) : 1-5
1. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al
Quran) pada malam kemuliaan.
2. Dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu? 3. Malam kemuliaan
itu lebih baik dari seribu bulan. 4. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan
Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. 5. Malam itu
(penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar.
Nabi SAW,. memberi penjelasan tentang waktu (terjadinya) Lailatul
Qodar, seperti dalam Hadis ;
... الَّيْلَةُ
الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنْ عَشْرِ اْلأَواَخِرِ مِنْ رَمَضَانِ. (رواه البخارى)
“…(malam) lailatul qadr berada pada malam gajil
pada sepuluh akhir bulan ramadhan”.
Contoh : Hadis/Sunnah yang merinci cara (
kaifiat) tayamum, seperti yang diperintahkan oleh QS. Al Maidah (5) : 6 dengan redaksi :
“…maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu …”.
Rincian tentang cara tayamum tersebut diterangkan dalam
hadis/sunnah berikut :
اَلتَّيَمَّمُ ضَرْبَتَانِ : ضَرْبَةُ
لِلْوَجْهِ وَضَرْبَةُ لِلْيَدَيْنِ. (رواه الدارقطنى)
“Tayamum itu dua kali
tepukan: sekali tepukan untuk wajah dan sekali tepukan untuk kedua tangan”. (HR. Daruquthny)
Contoh: Hadis yang membatasi keumuman makna redaksi Al Qur'an QS.
Al Maidah (5) : 38
“Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan dari apa yang ia kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah …..”.
Nabi SAW menjelaskan tentang hukuman potong tangan bagi pencuri,
yaitu hanya sampai pergelangan tangan atau tidak pada keseluruhan tangan
pencuri baik kanan maupun kiri, seperti redaksi Al Qur'an
أُتِيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلْعَمْ بِسَارِقٍ فَقَطَعَ يَدَهُ مِنْ مِقْصَلِ
الْكَفِّ
“Rasul SAW Didatangi
seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari
pergelangan tangan”.
Contoh: Hadis yang membatasi keumuman maksud QS. Al Maidah (5) : 3
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi …….”.
Nabi SAW., menjelaskan tentang pengkhususan bangkai dan darah yang
dibolehkan/dihalalkan oleh hadis atas keumuman pengharaman dalam
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ ,
فَأَمَّالْمَيْتَتَانِ فَالْجَرَادُ وَالْحُوْتُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالِطّحَالُ
وَالْكَبِدُ. (رواه احمد وابن ماجة)
“Dihalalkan
bagi kamu dua bangkai dan dua darah, adapun dua bangkai adalah belalang dan
ikan, dan dua darah adalah limpa dan hati”. (HR.
Ahmad dan Ibnu Majjah)
c.
Bayan Tasyri’ ( بيان التشريع
)
Adalah
fungsi hadis/sunnah dalam menetapkan hukum yang tidak dijelaskan oleh Al
Qur'an. Hal ini dilakukan atas inisiatif Nabi SAW Atas berkembangnya
permasalahan sejalan dengan luasnya daerah penyebaran Islam dan beragamnya
pemikiran para pemeluk Islam.
Inisiatif
yang diambil Nabi SAW Didasarkan atas teks kitab suci yang ada, memberi peluang
seluas-luasnya kepada pemeluk Islam untuk menaati segala yang datang dari Nabi
SAW baik perkataan, perbuatan dan ketetapan-ketetapannya yang mustahil
bertentangan dengan Allah SWT dan akal manusia, demi akan kepastian hukum.
Sehingga keteraturan hidup tetap terjaga. Pada tataran ini, Nabi SAW berusaha
menjelaskan dan menjawab pertanyaan yang muncul dari beberapa sahabat atas
beberapa hal yang tidak diketahuinya, yang tentunya jawaban itu didasarkan atas
petunjuk Allah SWT juga.
Dalam
hal ini, produk hukum atas inisiatif Nabi SAW diantaranya : larangan Nabi
SAW atas suami memadu istrinya dengan
bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri yang pada lahirnya teks berbeda dengan
bunyi QS. An Nisa’ (4): 23 di mana pada ayat ini hanya menjelaskan tentang
larangan penggabungan (menghimpun) dua saudara untuk dinikahi saja.
“…dan (diharamkan) menghimpunkan (dalam pernikahan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lalu…..”.
Selengkapnya
pernyataan Nabi SAW adalah sebagai berikut: “Tidak dibenarkan menghimpun
dalam pernikahan seorang wanita dengan saudara perempuan bapaknya, tidak juga
dengan saudara perempuan ibunya, tidak juga dengan anak perempuan saudaranya
yang lelaki dan tidak juga dengan akan saudaranya yang perempuan.” (HR.Muslim,AbuDawud,Tirmidzi,Nasai).Al
Thabrani menambahkan “karena kalau itu kamu lakukan, kamu memutus hubungan
kekeluargaan kamu “ (HR. Tabrani).
Pada
masalah zakat misalnya, Al Qur'an tidak secara jelas menyebut berapa yang harus
dikeluarkan seorang muslim dalam mengeluarkan zakat fitrah. Nabi SAW
menjelaskan dalam hadis/sunnahnya sebagai berikut :
زَكاَةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى
النَّاسِ صَاعاً مِنْ تَمْرٍ أَوْصَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلىَ كُلِّ حُرٍّ
أَوْعَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ المْسُلِمِيْنَ. (رواه البخارى ومسلم)
“Rasul telah mewajibkan zakat fitrah kepada
manusia (muslim). Pada bulan ramadhan satu sho' (zukat) kurma atau gandum untuk
setiap orang, baik merdeka atau sahaya, laki-laki atau perempuan muslim”. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Juga larangan menikahi seorang wanita sesusuan
karena telah dianggap muhrim (senasab) seperti hadis/sunnah Nabi SAW.
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا
حَرَّمَ مِنَ النَّسَبِ. (متفق عليه)
“Sungguh Allah tidak mengharamkan menikahi
seseorang karena sepersusuan, sebagaimana Allah telah mengharamkannya karena
senasab”. (HR. Muttafaq Alaih)
C.
Ijma’
1.
Pengertian
Ijma’ dalam
pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama
dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti
kedua lebih dari satu orang.
Ijma’ dalam istilah
ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam
suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara yang tidak dimukan dasar
hukumnya dalam Al Qur’an dan Hadis.
Hal yang demikian pernah dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila
terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah,
jika ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab
Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah SAW., ia pun berhukum
dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul SAW., ia kumpulkan
para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan pendapat
mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.
Jadi obyek ijmâ’ ialah semua peristiwa atau
kejadian yang tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau
kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak
langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan
atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada
dasarnya dalam Al Qur'an dan Hadits.
2.
Dasar
a.
Al Qur’an
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisa’ : 59)
Kata ulil amri yang terdapat pada ayat di
atas mempunyai arti hal, keadaan atau urusan yang
bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam
urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil
amri dalam urusan agama ialah para mujtahid. Dari ayat di atas dipahami bahwa
jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari
suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh
kaum muslimin.
“ dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, …” (QS. Ali Imran ; 103)
“dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan
ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itudan Kami masukkan ia ke
dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’
; 115).
Pada ayat ini Allah swt melarang untuk:
a.
Menyakiti/
menentang Rasulullah.
b.
Membelot/
menentang jalan yang disepakati kaum mu’minin.
Ayat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i ketika ada yang menanyakan
apa dasarnya bahwa kesepakatan para ulama bisa dijadikan dasar hukum. Imam
Syafii menunda jawaban atas pertanyaan orang tersebut sehingga tiga hari,
beliau mengulang-ulang hafalan Al Qur’an
hingga menemukan ayat ini. Contoh Ijma’: kewajiban shalat lima waktu.
b.
Hadis
Sabda Rasulullah SAW:
لا تجتمع أمتي على ضلالة
"Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan
kesalahan".
Apabila para mujtahid telah melakukan ijmâ’
dalam menentukan hukum syara' dari suatu permasalahan hukum, maka keputusan
ijmâ’ itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan
untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta.
Sabda Rasulullah SAW:
فمن
أراد بحبوحة الجنة فيلزم الجماعة
“Apabila seseorang menginginkan kemakmuran
surga, hendaknya selalu berjamaah”.
Dalam hadits diatas Imam Syafi’i berkomentar: “Jika keberadaan para mujtahid tersebar
diseluruh penjuru dunia, dan apabila tidak dimungkinkan bertemu langsung tetapi
pendapatnya dapat sampai pada sejumlah mujtahid, maka dapat terjadi ijmâ’ dalam
menetapkan sebuah hukum. Dan ketetapan para mujtahid ini dianggap sebagai
ijmâ’, dan apabila ada yang mengingkarinya maka harus ditemukan bukti dan dalil
baru untuk keputusan ijmâ’ tersebut”.
c.
Dalil Aqliah
Setiap ijmâ’ yang ditetapkan menjadi hukum syara', harus dilakukan
dan disesuaikan dengan asal-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid
dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasal-dasar pokok ajaran Islam,
batal-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah
ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash,
maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami
dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu
nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak
boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan
dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyâs, istihsan dan sebagainya. Jika semua
mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah
dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi Al Qur'ân dan Hadis,
karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang
mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh
diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum
suatu peristiwa lebih utama diamalkan.
3.
Rukun Ijma’
Adapun rukun ijma’ dalam
definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam
suatu masa atas hukum syara’. Kesepakatan itu dapat dikelompokan menjadi empat
hal:
a.
Tidak cukup ijma’
dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang (mujtahid)
saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang,
pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.
b.
Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas
hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok
mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid haramain,
para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah,
maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’
tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia
Islam dalam suatu masa.
c.
Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap
pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam
bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.
d.
Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada
semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan
kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan
jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak
itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.
Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan
menghitung seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari seluruh
mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka
yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan
pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun perbuatan baik
secara kolompok maupun individu.
Selanjutnya mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian
hukum itu disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin
menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum
masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah
ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus
4.
Syarat-syarat Mujtahid
Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
a.
Memiliki pengetahuan dasar berkaitan dengan,
1)
Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
2)
Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
3)
Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’
sebelumnya.
b.
Memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
c.
Menguasai ilmu bahasa Arab.
Selain itu, Al Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di
atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid
al Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut
untuk memahami maqasid al Syariah.
Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali
menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki
kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas
maqasid al Syariah.
5.
Macam-macam Ijma’
a.
Ditinjau dari segi terjadinya
1)
ljma' sharîh/qouli/bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik
berupa ucapan atau tulisan, seperti hukum masalah ini halal dan tidak haram.
2)
Ijmâ’ sukûti/iqrâri yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak
menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja
atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah
dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya.
Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan ijma’ sukûti ini: ada yang menyatakan
sebagai dalil qath’î dan ada yang
berpendapat sebagai dalil dzhannî.
Sebab-sebab terjadinya perbedaan adalah:
keadaan diamnya sebagian mujtahid tersebut mengandung kemungkinan adanya
persetujuan atau tidak. Apabila kemungkinan adanya persetujuan: maka hal ini
adalah dalil qath’î, dan apabila ada
yang tidak menyetujui: maka hal itu bukanlah sebuah dalil, dan apabila ada
kemungkinan memberi persetujuan tetapi dia tidak menyatakan: maka hal ini
adalah dalil dzhannî.
Dalam hal ini ada perbedaan diantara ulama
madzhab: ulama malikiyah dan syafi’iyyah menyatakan ijmâ’ sukûti bukan sebagai ijmâ’
dan dalil. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan hanabilah menyatakan bahwa
ijmâ’ ini dapat dinyatakan sebagai ijmâ’
dan dalil qath’î.
b.
Ditinjau dari segi keyakinan
1)
ljma' qath'î, yaitu hukum yang dihasilkan ijmâ’ itu
adalah sebagai dalil qath'î diyakini
benar terjadinya.
2)
ljma' zhannî, yaitu hukum yang dihasilkan ijmâ’
itu dzhannî, masih ada kemungkinan
lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda
dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijmâ’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
c.
Ditinjau dari Waktunya
1)
Ijmâ’ sahabat, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh para sahabat
Rasulullah SAW;
2)
Ijmâ’ khulafaurrasyidin, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh Khalifah Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat
dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu
Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijmâ’ tersebut tidak dapat dilakukan
lagi;
3)
Ijmâ’ shaikhan, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan
Umar bin Khattab;
4)
Ijmâ’ ahli Madinah, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh ulama-ulama
Madinah. Ijmâ’ ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut
Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi'i tidak mengakuinya sebagai salah satu
sumber hukum Islam;
5)
Ijmâ’ ulama Kufah, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh ulama-ulama
Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijmâ’ ulama Kufah sebagai salah satu sumber
hukum Islam.
D.
Qiyas
1.
Pengertian
Qiyas menurut bahasa
Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A
dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh
yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti
mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula
membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Menurut
para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa
yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian
atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena
ada persamaan 'illat antara kedua
kejadian atau peristiwa itu.
Menurut
Wahbah Zuhaili mendefinisikan qiyâs dengan,
menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu
yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara keduanya.
Jadi
suatu Qiyas hanya dapat dilakukan
apabila telah diyakini bahwa benarbenar tidak ada satupun nash yang dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena
itu tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melakukan Qiyas, ialah mencari: apakah ada nash
yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian.
Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan Qiyas.
Dengan
demikian qiyas itu penerapan hukum
analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan
melahirkan hukum yang sama pula.
2.
Dasar
a.
Al Qur’an
Jumhur
ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas
merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber
hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan
nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi
dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.
Diantara
ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir
di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang
pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin,
bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah;
Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka
sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai
orang-orang yang mempunyai wawasan. (QS. Al Hasyr :2)
Dari
ayat di atas bahwasanya Allah memerintahkan kepada kita untuk mengambil pelajaran, kata i’tibar di sini berarti melewati,
melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari
pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang
diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’
memiliki pengertian melewati dan melampaui.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(QS. An Nisa’ : 59)
Ayat
di atas menjadi dasar hukum qiyas,
sebab maksud dari ungkapan kembali
kepada Allah dan Rasul (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah
supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang
dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat
hukum, yang dinamakan qiyas.
b.
Hadis
Sementara
diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal,
yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah
Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas
merupakan salah satu macam ijtihad.
c.
Ijma’
Sedangkan
dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’.
Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata qiyas. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang
shahabat pun yang mengingkarinya. Disamping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan wajib
diamalkan.
Umpamanya,
bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya
katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar
maka dari Allah, jika salah maka dari syetan.Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’
adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut
dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan,
kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.
d.
Dalil Akliah
Dalil
yang keempat adalah dalil rasional.
1)
Allah mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk
kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam
menciptakan hukum.
2)
Nash baik Al Qur’an maupun hadis jumlahnya
terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan
tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber
hukum syara’. Karenanya qiyas
merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya
permasalahan-permasalahan yang baru. Dengan
qiyas akan tersingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya
sesuai dengan syariat dan maslahah.
3.
Kedudukan Qiyas Menurut Ulama
Pandangan ulama mengenai qiyas
ini terbagi menjadi tiga kelompok:
a.
Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal
yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat sahabat maupun
ijma ulama.
b.
Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka
sama sekali tidak menggunakan qiyas.
Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui
sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan
suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan
hukum hanya dari teks nash semata.
c.
Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena
persamaan illat/sebab. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini
menerapkan qiyas sebagai pentakhsih
dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.
4.
Rukun Qiyas
Qiyas
memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
a.
Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam
hukum nashnya (al maqis alaihi).
Para
fuqaha mendefinisikan al ashlu
sebagai objek qiyâs, dimana suatu
permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya (al-maqîs
‘alaihi), dan musyabbah bih
(tempat menyerupakan), juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang
telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
Imam
Al Amidi dalam Al Mathbu’ mengatakan
bahwa al ashlu adalah sesuatu yang
bercabang, yang bisa diketahui (hukumnya) sendiri.
Contoh,
pengharaman ganja sebagai qiyâs dari
minuman keras adalah dengan menempatkan minuman keras sebagai sesuatu yang
telah jelas keharamannya, karena suatu bentuk dasar tidak boleh terlepas dan
selalu dibutuhkan. Dengan demiklian maka al-aslu
adalah objek qiyâs, dimana suatu permasalahan
tertentu dikiaskan kepadanya.
b.
Furu’ (cabang),
yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya (al-maqîs), karena tidak terdapat dalil nash atau ijma’ yang
menjelaskan hukumnya.
c.
Hukm Al Asal, yaitu hukum
syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Atau hukum syar’i
yang ada dalam nash atau ijma’, yang
terdapat dalam al ashlu.
d.
Illat, adalah sifat
yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas
yang dibangun atasnya.
5.
Contoh Qiyas
a.
Pengharaman mengkonsumsi minuman keras
Hukum
meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya
haram. Sebagaimana firman Allah,
“Hai
orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan.”
(QS. Al Maidah ; 90)
Haramnya
meminum khamar berdasar illat/sebab hukumnya adalah memabukan yakni
menghilangkan akal sehat. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat
sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.
b.
Terhalangya warisan bagi pembunuh
Si A
telah menerima wasiat dari B bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang telah
ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera memperoleh tanah yang
diwasiatkan, karena itu dibunuhnyalah B. Timbul persoalan: Apakah A tetap
memperoleh tanah yang diwasiatkan itu? Untuk menetapkan hukumnya dicarilah
kejadian yang lain yang ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula
persamaan 'illatnya. Perbuatan
itulalah pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan
diwarisinya, karena ingin segera memperoleh harta warisan. Sehubungan dengan
itu Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:
"Orang yang membunuh (orang yang
akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi." (HR. Tirmidzi)
Antara
kedua peristiwa itu ada persamaan 'illatnya,
yaitu ingin segera memperoleh sesuatu sebelum sampai waktu yang ditentukan.
Berdasarkan persamaan 'illat itu
dapat ditetapkan hukum bahwa si A haram memperoleh tanah yang diwariskan B
untuknya, karena ia telah membunuh orang yang telah berwasiat untuknya,
sebagaimana orang yang membunuh orang yang akan diwarisinya, diharamkan
memperolah harta warisan dari orang yang telah dibunuhnya.
c.
Makruh beraktifitas bila
adzan shalat jum’at berkumandang
Terus
melakukan sesuatu pekerjaan, seperti mencangkul di sawah, bekerja di kantor,
dan sebagainya setelah mendengar adzan untuk melakukan shalat Jum'at belum
ditetapkan hukumnya. Lalu dicari perbuatan lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya,
yaitu terus menerus melakukan jual beli setelah mendengar adzan Jum'at, yang
hukumnya makruh. Berdasar firman AIIah SWT:
"Hai orang-orang yang
beriman, apabila diserukan (adzan) untuk sembahyang hari Jum'at, maka hendaklah
segera mengingat Allah (shalat Jum'at) dan meninggalkan jual-beli. Yang
demikian itu lebih baik untukmu jika kamu mengetahui." (QS. Al
Jumu'ah: 9)
Antara
kedua pekerjaan itu ada persamaan 'illatnya, karena itu dapat pula ditetapkan
hukum mengerjakan suatu pekerjaan setelah mendengar adzan Jum'at, yaitu makruh
seperti hukum melakukan jual-beli setelah mendengar adzan Ju'mat.
SOAL
EVALUASI
Berilah tanda silang (x) huruf a, b, c, d,
atau e pada jawaban yang benar !
1.
Ijtihad berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihad
yang berarti……
a.
Bersungguh-sungguh d.
berfikir
b.
Berjuang e.
bermusyawarah
c.
Berperang
2. Perkara yang memerlukan ijtihad para ulama
adalah…..
a.
Hukum daging babi
b.
Qasar ketika dalam kondisi safar
c.
Memberikan dukungan kepada calon pemimpin non islam di
negara barat
d.
Memakan bangkai ketika kondisi darurat
e.
Penggunaan khamar untuk penyembuhan
3. Jumud adalah istilah untuk menyebut……
a. Kemajuan berfikir
b. Kemajuan zaman
c. Pola pikir
d. Kekakuan dalam berfikir
e. Pikiran yang jernih
4. Mengikuti pendapat ulama secara apa adanya
tanpa mengetahui dalil-dalil g digunakan dinamakan……..
a.
Ijtihad d.
muqalid
b.
Istinbat e.
ittiba’
c.
Taklid
5.
Ijtihad fi akhrij ahkam merupakan istilah dalam…….
a.
Menentukan penindak hokum
b.
Mengesampingkan hokum yang ada
c.
Mencari sumber hokum
d.
Menerapkan hokum
e.
Mengeluarkan hokum
6.
Hokum ijtihad bagi seseorang yang ditanya tentang
sesuatu masalah, dan masalh itu akan hilang sebelum hukumnya diketahui adalah……
a. Sunah
b. Fardu ‘ain
c. Fardu kifayah
d. Makruh
e. Haram
7. Tiga hal yang termasuk sumber hokum ijtihad
yang tepat adalah…
a.
Al-Quran, sunah, dan aqliyah
b.
Al-Quran,
sunah, dan ijmak
c.
Qiyas, Al-Quran, dan sunah
d.
Ijma’, Qiyas, dan Al-Quran
e.
Aqliyah, Al-Quran, dan ijma’
8.
ayat Al-quran yang menjadi dasar hokum bagi pelaksanaan ijtihad adalah….
a. Q.S. al-baqarah (2) :269
b. Q.S. an-Nosa’ (4) :58
c. Q.S. Ali Imran (3) ; 159
d. Q.S. an-Nur (24) : 55
e. Q.S. an-Nisa’ (4)59
9.Orang yang brhak melakukan ijtihad
disebut dengan….
a. Mujahid
b. Mujadid
c. Mujtahid
d. Munjid
e. Murabi
10.Mengetahui semua ayat dan hadis yang
berhubungan dengan hukun merupakan….
a. Syarat orang pelaku ijtihad
b. Alasan
ambisebuah ijtihad
c. Tujuan
mulia dari ijtihad
d. Syaraa
yang digunakan berijtihad
e. Sumber hokum ijtihad
Komentar
Posting Komentar