BAB III SUMBER HUKUM ISLAM YANG DIPERSELISIHKAN




BAB III
SUMBER HUKUM ISLAM YANG DIPERSELISIHKAN

KOMPETENSI INTI
1.  Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
2. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro -aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian d ari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
3.  Memahami ,menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingintahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait pe nyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan.
4.  Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan m ampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.

Kompetensi Dasar

1.5  Menghayati  sumber hukum yang mukhtalaf.
2.5 Membiasakan sikap menghormati pendapat atas pemahaman sumber hukum yang mukhtalaf
3.5. Menelaah  Istiḥsān sebagai sumber hukum
3.6  Memahami  maslahatul-mursalah sebagai sumber hukum
3.7  Menganalisis ‘urf sebagai sumber hukum
3.8  Memahami  istispabsebagai sumber hukum
3.9  Memahami  syar‘u man qablanw sebagai sumber hukum
3.10 Menjelaskan qaulus sapabi sebagai sumber hukum
3.11 Menelaah  saddui-iarw’i sebagai sumber hukum
4.5 Menunjukkan contoh perbuatan dalam kehidupan masyarakat berdasarkan hukum mukhtalaf

TUJUAN PEMBEJARAN:
Setelah pembelajaran :
1. Siswa dapat Mengidentifikasi  Istiḥsān
2. Siswa dapat Memahami  Mashlahatul Mursalahsebagai sumber hukum
3. Siswa dapat Menjelaskan  ‘Urfsebagai sumber hukum
4. Siswa dapat Menjelaskan  istishabsebagai sumber hukum
5. Siswa dapat Memahami  Syar’u man qablana sebagai sumber hukum
6. Siswa dapat Menjelaskan qaul as sahabi sebagai sumber hukum
7. Siswa dapat Menjelaskan  Saddud Dzara’i sebagai sumber hukum
8. Siswa dapat Menunjukkan contoh perbuatan dalam kehidupan masyarakat berdasarkan hukum mukhtalaf



PENDAHULUAN
Dalam Islam, sumber  hukum Islam yang pokok adalah Al-Qur'an sebagai kalam Allah langsung dan Al Hadis sebagai kalam Allah yang di terjemahkan melalui Rasul-Nya. Pada zaman Rasulullah saw semua permasalahan yang muncul bisa di selesaikan hukumnya melalui Al Qur’an, setiap sahabat yang mengalami permaslahan langsung bertanya kepada Rasulullah mengenai hukumnya sehingga tidak terjadai perbedaan pendapat di anatara sahabat karena rujukan mereka adalah rasulullah saw. Tetapi seirng berjalanya waktu setelah Rasulullah saw meninggal dan permasalahan atau peristiwa terus berkembang, permasalahan yang  muncul adalah permasalahan yang tidak pernah ada di zaman Rasul, di sinilah para sahabat atau ulama’ dituntut untuk berfikir dalam menetapkan hukum permasalahan yang timbul, akhirnya dengan pemikiranya dan penalaranya yang tentunya tidak terlepas dari prinsip dasar syariah dan tidak keluar dari rel-rel yang telah di tetapkan oleh Al Qur’an dan hadis mereka berusaha menetapkan hukum permasalah yang muncul tersebut. Sehingga tidak heran kalau terjadi perbedaan pendapat di antara mereka dalam menyikapai suatu permaslahan .
 Di bab ini kita akan membahas sumber hukum Islam yang tidak disepakati oleh ulama’ karena memang bersumber dari akal pemikiran atau ijtihad mereka, sumber hukum tersebut adalah, istipsan, maslahatul-mursalah, istispab, urf, sadz zariah, mazhab sahabat, syar‘u man qablanw, dan dalala al iqtiran. 

A. MATERI PEMBELAJARAN
   
1.    Istiḥsān
Istiḥsān adalah salah satu cara atau sumber dalam mengambil hukum Islam. Berbeda dengan Al-Quran, Haddits, Ijma’ dan Qiyās yang kedudukannya sudah disepakati oleh para ulama sebagai sumber hukum Islam, istiḥsān adalah salah satu metodologi yang hanya digunakan  oleh sebagian ulama saja.

a.     Pengertian Istiḥsān
Menurut bahasa, istiḥsān berarti menganggap baik sesuatu dan meyakininya.
Menurut istilah ulama uūl fiqih, istiḥsān adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan hukum yang di kehendaki qiyāsjalli (jelas) kepada ketentuan hukum yang di kehendaki oleh qiyāskhafi (samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istisna' (pengecualian), karena ada dalil yang menuntut demikian.
Qiyāskhafi menurut kalangan Hanafiyah adalah istiḥsān.  Disebut istiḥsān karena seorang mujtahid menganggap bahwa perpindahan penerapan metode dalil dari qiyāsjalli ke qiyāskhafi adalah lebih baik.

b.        Bentuk-bentuk Istiḥsān
Dari segi pengambilan dalil Istiḥsān terbagi dalam beberapa bentuk : 
1) Istiḥsān dengan qiyāskhafi
Penerapan Istiḥsān dengan qiyāskhafi ialah pencetusan hukum melalui perenungan serta penelitian mendalam karena dalam satu kasus terdapat dua dalil yaitu qiyāsjalli dan qiyāskhafi yang masing-masing mempunyai konsekwensi hukum sendiri-sendiri. Kemudian dalam penetapan hukum dilakukan penunggulan pada dalil yang dianggap lebih sesuai dengan permasalahan.
Contohnya:  air sisa minuman burung buasseperti burung elang, rajawali, dan lain sebagainya. Dalam menentukan status kesucian air tersebut terdapat pertentangan antara qiyās dan istiḥsān.
Dengan metode qiyās  disimpulkan bahwa air tersebut najis karena diqiyās-kan dengan air sisa minuman binatang buas. Karena fokus penetapan status kesucian air sisa minuman adalah daging tubuhnya, sedangkan daging burung buas dan binatang buas adalah haram, karena itu air sisa minumannya dihukumi najis karena bercampurnya air liur yang keluar dari tubuh yang najis. 
Dengan metode istiḥsān disimpulkan bahwa air sisa minuman burung buas di qiyās-kan dengan air sisa minuman manusia dengan illah keduanya sama-sama tidak boleh dimakan dagingnya.
Dalam contoh kasus di atas penerapan metode istiḥsān lebih dikedepankan dari pada  qiyās. Dengan metode qiyas air sisa minuman burung buas disamakan dengan air sisa minuman binatang buas, dengan illat keharaman mengkonsumsinya, sedangkan secara istihsan tidak demikian, karena pada dasasrnya binatang buas tidak najis, dengan bukti boleh dimanfaatkan najisnya hanya karena haram dikonsumsi. Dan juga kenajisan air tersebut adalah karena binatang buas ketika minum menggunakan lidahnya yang basah dan bercampur air liur yang keluar dari tubuh yang najis, sehingga air sisa minumanyapun terkena najis. Berbeda dengan burung buas yang ketika minum menggunakan paruhnya dan paruh adalah tulang kering dan tulang merupakan sesuatu yang suci dari bagian tubuh bangkai. Karena itulah air sisa minuman burung buas dihukumi suci sebagaimana air sisa minuman manusia karena tidak ada penyebab kenajisan hnaya saja dihukumi makruh karena burung buas tidak bisa menjaga paruhhnya dari hal-hal yang najis.

2) Istiḥsān dengan nas
Maksudnya adalah meninggalkan ketentuan nash yang umum beralih ke hukum nash yang khusus.
   Contoh dari istiḥsān dengan al qur’an : di perbolehkanya wasiat. Secara qiyas (kaidah umum) pelaksanaan wasiat tidak di perbolehkan karena menyalahi kaidah umum yaitu dalam wasiat terdapat pengalihan hak milik setelah status kepemilkannya hilang, yaitu dengan meningggalnya pemilik hak. Namun  kaidah ini mengalami pengecualian dengan adanya dalil atau nas dari al qur’an
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوْصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ ( النساء : 11)
Pembagian-pembagian tersebut di atas sesudah di penuhi wasiat yang ia buat dan sesudah di bayar hutangnya” ( QS An Nisa’ 11)
   Contoh dari istiḥsān dengan sunnah : di perbolehkanya akad salam (pemesanan). Kaidah umum mengeasksan pelaraganya, karena ia adalah sebagian dari bentuk transaksi penjualan barang yang belum wujud. Namun akad salam dikecualikan dari penerapan kaidah tersebut berdasrkan hadis yang secara khusu memperbolehkanya yaitu,
مَنْ أَسْلَفَ فِى ثَمَرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ ( متفق عليه )
   Barang siapa melakukan akad pemesanan buah, maka pesanlah dengan kadar takaran ynag jelas, dan batas waktu yang jelas juga. (HR Bukhari Muslim).

3)Istiḥsān dengan ijma’
Maksudnya adalah fatwa ulama’ tentang suatu hukum dalam permaslahan kontemporer yang menyalahi hasil penerapan qiyas atau kaidah umum.
Contoh akad istisna’ (kontrak kerja pertukangan) yaitu satu pihak meakukan kontrak kerja dengan pihak lain untuk membuat suatu barang dengan imbalan tertentu.
Dengan metode qiyās kontrak kerja semacam ini tidak sah karena ketika kesepakatan kontrak terjadi ma’qud alaih tidak ada. Namun akad semacam ini di perbolehkan karena masyarakat terbiasa melakukannya dan tidak ada seorangpun ulama’ yang mengingkarinya. Karena nya hal seperti ini dianggap sebagai ijma’.          

4) Istiḥsān dengan darurat
Yaitu apabila dengan menggunakan qiyās atau kaidah umum dipastikan akan berdampak pada kesulitan atau kesempitan. Kemudian untuk menghilangkan kesulitan tersebut diberlakukanlah pengecualian dengan alasan darurat.
Contoh penyucian sumur atau telaga yang terkena najis. Dengan metode qiyās telaga atau sumur tidak dapat disucikan dengan menguras sebagaian atau keseluruhan air. Karena persentuhannya dengan dinding sumur yang terkena najis. 
Menurut ulama’ Hanafi cara mensucikanya adalah dengan menguras samapai pada kadar tertentu disesuaikan dengan jenis najis dan besar kecilnya sumur atau telaga.

5) Istiḥsān dengan dengan maslaha
Yaitu apabila qiyās atau kaidah umum diterapkan akan mengakibatkan mafsadah (kerugian) atau tidak tercapainya maslaha yang dituju. Kemudian istihsan di berlakuakan untuk dapat mewujudkan kemaslahatan.
Contoh: fatwa Abu Hanifah yang memperbolehkan pemberian zakat pada Bani Hasyim keturunan Rasulullah karena pertimbangan situsi masa itu. Ini bertentangan dengan kaidah umum yang menyatakan bahwa keluarga dan keturunan nabi tidak berhak mendapatkan zakat. Namun dengan istihsan diperbolehkan karena ada beberapa pertimbangan pada saat itu di mana keluarga rasul kerap mengalami penganiayaan dari rezim penguasa. 

6(Istiḥsān dengan urf
 Maksudnya adalah berpindah dari penerapan qiyās atau kadiah umum dengan memandang tradisi yang berlaku. Contoh diperbolehkannya jasa toilet umum tanpa ada kepastian berapa lama dan berapa banyak air yang digunakan dengan imbalan jasa pembayaran tarif yang telah di tentukan. Menurut kaidah umum tidak diperbolehkan karena ma’qud alaihnya tidak jelas begitu pula batas waktunya. Tetapi secara istihsan diperbolehkan karena sudah secara adat sudah dilakukan dan tidak ada seorang ulama’pun yang mengingkari.  
             ,
c.    Kehujahan Istiḥsān
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai dijadikannya istiḥsān sebagai sumber hukum. Menurut Ulama Hanafi, Maliki dan Hanbali istiḥsān bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Alasan mereka istiḥsān adalah meninggalkan perkara yang sulit beralih ke perkara yang mudah di mana hal itu merupakan dasar dari agama sebagaimana firman Allah:
يُرِيْد الله بِكَمُ الْيُسْري ولا يرِيْدُ بِكُمُ العُسرى
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu ( QS Al Baqarah :185).
 Dan hadis nabi saw:
مَا رَاهُ المُسْلمُوْن حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ الله حَسَن ( رواه أحمد)
“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka ia adalah baik di sisi Allah” ( HR Ahmad).

Menurut ulama Syafi'i, Zahiriyah, Mu’tazilah dan Syiah berpendapat bahwa istiḥsān tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum, mereka beralasan:
- Bahwa Rasulullah saw tidak pernah meminta para sahabat melakukan istiḥsān.
- Sandaran yang digunakan dalam melakukan istiḥsān adalah akal sehingga tidak ada bedanya antara orang alim dan oang jahil (bodoh), keduanya sama-sama bisa melakukan istiḥsān. Jika semua orang diperbolehkan melakukan istiḥsān maka masing-masing orang akan membuat syariat baru. Imam syafii berkata:
مَنْ اِسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barang siapa yang melakukan istiḥsān maka ia telah membuat syariat” 
Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istiḥsān menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istiḥsān menurut pendapat Madzhab Syafi’i.
Menurut Madzhab Hanafi istiḥsān itu semacam qiyās, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’i, istiḥsān itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Maka seandainya istiḥsān itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi.


2.       MASLAHAH MURSALAH

1)      Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah berarti kemaslahatan yang terlepas. Menurut istilah syara’, adalah memberlakukan suatu hukum berdasar kepada kemaslahatan yang lebih besar dengan menolak kemudaratan karena tidak ditemukannya dalil yang menganjurkan atau melarangnya.Maslahah mursalah sering disebut juga istislah.Contoh maslahah mursalahadalahmengumpulkan dan membukukan Al-Qur' an,mencetak uang, menetapkan pajak penghasilan, membuat akta nikah, akta kelahiran, membangun penjara, membangun kantor pemerintahan, dan lain-lain.
Maslahah terbagi menjadi 3 bagian:
a) Maslahah yang dianggap oleh syariat yang biasa disebut masalih mu’tabarah seperti diberlakukanya hukuman qisas di situ terdapat kemaslahatan yaitu melindungi jiwa. 
b) Maslahah yang tidak dianggap atau ditolak oleh syariat atau biasa disebut masalih mulgah seperti menyamakan bagian anak perempuan dengan bagian anak laki-laki dalam masalah warisan, masalahah yang ada dalam masalah ini bertentangan dengan naṣ al qur’an sehingga kemaslahatanya tidak dianggap.
c) Maslahah yang tidak dinyatakan oleh syariat secara tegas apakah maslahah tersebut ditolak atau diakui, inilah yang disebut dengan maslahah mursalah.

b. Kehujjahan maslahah mursalah
Para ulama’ sepakat bahwa maslahah tidak boleh terjadi di dalam ibadah karena masalah ibadah adalah masalah yang ketentuannya sudah ditetapkan oleh syariat, sehingga tidak boleh dilakukan ijtihad. 
Adapun selain masalah ibadah mereka berbeda pendapat  :
- Menurut ulama’ Syafii dan Hanafi bahwa maslahah mursalah tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum atau dalil secara mutlak karena dapat membuka keinginan hawa nafsu.Lagi pula, apabila dalil nas dan cara-cara qiyās dilaksanakan dengan baik maka akan mampu menjawab perkembangan dan kemaslahatan umat sepanjang masa.
- Menurut ulama’ Maliki dan Hanbalimaslahah mursalah dapat digunakan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. Mereka beralasan bahwa kemaslahatan manusia itu setiap waktu berkembang dan beranekaragam sehingga butuh adanya kepastian hukum. Jika maslahah tidak bisa dijadikan sebagai hujjah maka akan banyak peristiwa yang tidak diketahui hukumnya.
Sejarah telah membuktikan bahwa para sahabat, tabi'in, dan para mujtahid membentuk hukum berdasarkan per­timbangan maslahah mursalah. Umpamanya, Abu Bakarmenghimpun Al Qur’an dalam satu mushaf dengan tujuan agar al qur’an tidak hilang. Umar menghukumi talāq tiga dengan satu kali ucapan. Umar tidak memberikan zakat kepada al muallafah qulubuhum ketika Islam sudah kuat, menetapkan undang-undang pajak, pembukuan administrasi, membangun penjara, dan menghentikan pelaksanaan hukum pidana kepada pencuri di tahun paceklik. Usman telah menyatukan umat Islam dalam satu mushaf, menetapkan jatah harta waris kepada istri yang ditalāq karena sang suami menghindari pembagian warisan kepadanya. Ali telah memerangi para pengkhianat dari kalangan Syiah Rafidah, itu semua dilakukan sahabat berdasar kemaslahatan.
Kelompok yang menggunakan maslahah mursalah sebagai hujjah tidak begitu saja menggunakanya tetapi menetapkan persyaratan yang cukup ketat diantaranya  Maslahah itu harus bersifat riil dan umum, bukan maslahah yang bersifat perorangan. dan juga harus dapat diterima akal sehat dengan dugaan kuat bahwa maslahah itu benar-benar mendatangkan manfaat secara utuh dan menyeluruh. Maslahah ini juga harus se­jalan dengan tujuan syara’ dan tidak berbenturan dengan prinsip dalil syara’ yang telah ada, seperti nas dan ijmak.


3.       ISTISHAB
a. Pengertian Istisḥāb
Dilihat dari segi bahasa, kata istisḥāb artinya طَلَبُ المُصَاحَبَة  "tuntutan kebersamaan" atau اِسْتِمْرَارُ المُصَاحَبَة“terusmenerus bersama) . Sedangkan secara istilah, menetapkan hukum yang telah ada pada masa lalu hingga ada dalil atau bukti yang merubahnya. Contoh:seseorang yang me­miliki wudhu lalu muncul keraguan apakah wudhunya sudah batal ataukah belum, dalam kondisi seperti ini ia harus berpegang pada belum batal karena hukum yang telah ada atau hukum asal ia masih punya wudhu sebelum ada bukti jelas kalau wudhunya telah batal. 

b. Kehujjahan istisḥāb
        Menurut ulama’ Mazhab Syafii bahwa istisḥāb bisa dijadikan sebagai hujjah.
    Menurut ulama’ Hanafi istisḥāb tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.

c. Kaidah yang berkaitan dengan istisḥāb
- الأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّة
hukum asal bahwa seseorang tidak mempunyai tanggungan terhadap orang lain
Contoh, bebasnya seseorang dari dakwaan bersalah sebe­lum ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan secara meyakinkan bahwa ia bersalah.
-   الأَصْلُ فِى الْأَشْيَاء الإِبَاحَة
“Hukum asal segala sesuatu adalah mubah”
Contoh: Setiap makanan dan minuman yang tidak ditetapkan oleh suatu dalil tentang keharamannya, maka hukumnya mubah.
-   اليَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ
“Keyakinan tidak hilang dengan munculnya keragu-raguan”
Contoh : Seorang yang ragu, apakah wudhunya sudah batal atau belum, maka berdasar istishab wudhunya belum batal, karena yang diyakini dia sudah berwudhu.
-   الأَصْلُ بقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَاكَان
Hukum asal segala sesuatu adalah kembali pada hukum awalnya.

4.       'URF
a. Pengertian ‘Urf
Dilihat dari segi bahasa, kata 'urf berarti sesuatu yang dikenal. Kata lain yang sepadan dengannya adalah adat atau tradisi atau kebiasaan.
Menurut istilah syara’, segala sesuatu yang sudah dikenal masyarakat dan telah dilakukan secara terus menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan.

b. Macam-macam ‘Urf
Dilihat dari segi sumbernya, 'urf dapat digolongkan menjadi dua macam.
1)  'Urf Qauli, yaitu kebiasaan yang berupa ucapan. Seperti kata "لحْم" yang berarti daging. Pengertian daging bisa mencakup semua daging, termasuk daging ikan, sapi, kambing, dan sebagainya. Namun dalam adat kebiasaan, kata daging tidak berlaku untuk ikan. Oleh karena itu, jika ada orang bersumpah, "Demi Allah, saya tidak akan makan daging." tapi kemudian ia makan ikan maka menurut adat ia tidak melanggar sumpah
2). 'Urf amaly, yaitu kebiasaan yang berupa perbuatan. Seperti, transakasi antara penjual dan pembeli tanpa menggunakan akad.

Dilihat dari ruang lingkup penggunaannya, 'urf juga dibagi menjadi dua macam.
1). 'Urf Am (Umum), yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di mana saja hampir di seluruh penjuru dunia tanpa memandang negara, bangsa, dan agama. Contohnya, menganggukkan kepala pertanda setuju dan menggelengkan kepala pertanda menolak, mengibarkan bendera setengah tiang menandakan duka cita untuk kematian orang yang dianggap terhormat.
2). 'Urf khas (Khusus), yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang di tempat tertentu atau pada waktu tertentu dan tidak berlaku di sem­barang waktu dan tempat. Umpamanya adat menarik garis keturunan melalui garis ibu atau perempuan (matriliniel) di Minangkabau atau melalui bapak (patrilineal) di kalangan suku Batak. Bagi masyarakat umum, penggunaan kata budak dianggap menghina, karena kata itu berarti hamba sahaya. Tapi bagi masyarakat tertentu, kata budak biasa digunakan untuk memanggil anak-anak.

Ditinjau dari baik dan buruknya menurut syariat, 'urf  terbagi menjadi dua macam.
1). 'Urf Saḥīh, yaitu adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan norma agama. Umpamanya, mem­beri hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat pada waktu-waktu tertentu, mengadakan acara halal bi halal (silaturahmi) pada hari Raya, memberi hadiah sebagai penghargaan atas prestasi, dan se­bagainya.
2). 'Urf Fāsid, yaitu adat atau kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama. Contohnya, ber­judi untuk merayakan peristiwa perkawinan atau meminum minuman keras pada hari ulang tahun.


c. Kedudukan ‘Urf  dalam  Penetapan Hukum
Para ulama sepakat bahwa 'urf  merupakan salah satu dalil untuk menetapkan hukum. Mereka beralasan dengan firman Allah:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ ( الأعراف : 199)
Jadilah engkau seorang pemaaf dan suruhlah orang menerjakan yang ma’ruf dan berpalinglah dari orang-orang bodoh” ( QS Al A’raf : 199).
Kata al ‘urf dalam ayat diatas secara harfiah yaitu sesuatu yang dianggap baik dan pantas. Dari makna harfiah di atas maka para ulama’ menjadikanya sebagai sumber hukum.

5.       SADDZU DZARIAH
a. Pengertian saddui Dzarī’ah dan macamnya
Saddz berarti menutup, mengunci, mencegah.Zarī’ah menurutbahasa adalah perantara, sarana, atau ajakan menuju sesuatu secara umum. Tetapi lazimnya kata zarī’ah digunakan untuk “jalan yang menuju kepada hal yang membahayakan”.
Menurut istilah syara’, adalah "Sesuatu yang secara lahiriah hukumnya boleh, namun hal itu akan menuju kepada hal-hal yang di­larang".
Contoh, melakukan permainan yang berbau judi tanpa taruhan dilarang karena dikawatirkan akan terjerumus kedalam perjudian.

b. Kehujjahan saddui dzariah
Perbuatan mubah yang apabila dilakukan bisa menjerumuskan kepada kemaksiatan,  terbagi menjadi:
Pertama: kecil kemungkinan menjerumuskan ke dalam kemaksiatan seperti melihat wanita yang dikhitbah. Dalam hal ini para ulama’ sepakat akan kebolehannya.
Kedua: besar kemungkinan menjerumuskan ke dalam kemaksiatan. Seperti menjual senjata pada saat ada perkelahian.  
Ketiga: menjerumuskan ke dalam kemaksiatan jika diselewengkan, seperti orang yang menikah dengan wanita yang sudah dicerai tiga, agar bisa dinikahi kembali oleh mantan suaminya.
Poin kedua dan ketiga para ulama’ berbeda pendapat.
Menurut ulama’ Hanbali dan Malikiperbuatan di poin kedua dan ketiga tidak boleh di lakukan,dengan alasan bahwa sesuatu yang mubah harus dilarang jika membuka jalan ke arah kemaksiatan, hal ini didasarkan pada hadis nabi saw
فَمَنْ حَامَ حَوْل َالْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ (رواه البخارى )
Barang siapa yang berputar-putar di sekitar larangan Allah ia akan terjatuh ke dalamnya”
Menurut ulama’ Syafii dan Dzahiri perbuatan di poin kedua dan ketiga boleh di lakukan, mereka beralasan bahwa perbuatan yang pada asalnya mubah harus di perlakukan mubah tidak bisa menjadi haram hanya karena ada kemungkinan menjerumuskan kedalam kemaksiatan.  

6.       MAZHAB SAHABI
a. Pengertian makhab sahābi
Yaitu pendapat para sahabat tentang hukum suatu kasus sepeninggal Rasululah saw. Contohnya, kesepakatan para sahabat tentang bagian warisan untuk nenek seperenam. Pendapat Usman bin Affan tentang gugurnya kewajiban shalat jum’at apabila bertepatan dengan hari raya, pendapat Ibnu Abbas tentang tidak diterimanya kesaksian anak kecil. 

b. Kehujjahan makhab sahābi
Para ulama’ sepakat bahwa pendapat sahabat yang disepakati para sahabat yang lain bisa dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum karena dianggap sebagai ijmw’. Sedangkan pendapat sahabat yang berdasarkan kepada ijtihadd mereka sendiri para ulama’ berbeda pendapat:
Menurut sebagian ulama’, bahwa pendapat sahabat yang seperti itu bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Alasan mereka adalah bahwa pendapat seorang sahabat kemungkinan besar benar dan sangat kecil kemungkinan salah. Karena mereka yang menyaksikan secara langsung bagaimana syariat itu diturunkan dan mereka adalah orang-orang yang selalu bersama dengan Rasulullah sehingga pendapat mereka lebih dekat kepada kebenaran dari pada pendapat orang lain. Dalam hadis dikatakan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasi sahabat.
خَيْرُ الْقُرُوْنِ الْقَرْنُ الَّذِيْ أَنَا فِيْهِ ثُمَّ الثَّانِى ثُمَّ الثَّالِثُ ( رواه مسلم عن عائشة )
“Sebaik-baik masa adalah masa di mana aku hidup, kemudian masa kedua,kemudianmasa ketiga (HR Muslaim dari Aisyah).
Menurut sebagian ulama’ yang lain bahwa pendapat sahabat yang seperti itu tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Alasan mereka adalah bahwa kita harus berpegang kepada al qur’an, hadis dan dalil lain yang mengarah kepada teks al qur’an dan hadis. Sementara pendapat sahabat tidak termasuk bagian itu. Ijtihadd dengan akal bisa kemungkinan benar bisa kemungkinan salah, baik itu pendapat sahabat maupun pendapat lainya. Meskipun bagi sahabat, kemungkinan salah sangatlah kecil. 

7.       SYAR'U MAN QABLANA
a. Pengertian Syar'u man qablanā
Syar'u man qablana atau syariat umat sebelum kita adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada umat sebelum Nabi Muhammad yang diturunkan melalui para nabinya seperti seperti ajaran nabi Musa, Ibrahim, Isa dan nabi-nabi yang lain.

b. Pembagian syar’u man qablanā
Syar’u man qablanā terbagi menjadi :
1) Ajaran umat sebelum kita yang diabadikan di dalam al qur’an atau hadis dan ada dalil yang menyatakan bahwa syariat itu berlaku untuk kita. Dalam hal ini para ulama’ sepakat bahwa syariat mereka berlaku untuk kita, seperti diwajibkannya berpuasa dalam firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصَّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ ( البقرة : 183) 
2) Ajaran umat sebelum kita yang diabadikan di dalam al qur’an melalui kisah atau dijelaskan Rasulullah, tetapi ada dalil yang menyatakan bahwa syariat tersebut dihapus oleh syariat kita atau Islam. Dalam hal ini para ulama’ sepakat bahwa syariat mereka tidak berlaku untuk kita, seperti sabda Rasulullah saw:
وَأُحِلَّتْ لِى الغَنَائِمُ , وَلَمْ تُحَلَّ لِأَحَد قَبْلِى
“Dan ghanimah dihalalkan untuk kami, tidak dihalalkan bagi umat sebelum kami”.
Dari hadis di atas diketahui bahwa ghanimah tidak dihalalkan untuk umat sebelum rasulullah dan dihalalkan bagi umat Rasulullah saw.
3). Ajaran syariat umat sebelum kita yang tidak di tetapkan oleh syariat kita, para ulama’ sepakat hal itu bukan syariat bagi kita.
4) Syariat sebelum kita yang ada di dalam Al Qur’an dan Hadis tetapi tidak ada dalil yang menyatakan sebagai syariat kita. Sepereti firman Allah
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.( Al Maidah : 45)
Dalam hal ini para ulama’ berbeda pendapat apakah syariat tersebut dianggap sebagai syariat bagi kita ataukah tidak?
Menurut sebagaian ulama’ seperti ulama’ Hanafi bahwa hal itu sebagai bagian dari syariat kita. Mereka beralasan bahwa para ulama’ mewajibkan qisas dengan berdalil pada surat al maidah ayat 45, yang jelas-jelas itu adalah syariat untuk bani Israil.
Mereka juga beralasan pada salah satu riwayat Muhamad bin Hasan bahwa nabi bersabda:
مَنْ نَامَ عَنْ صَلاَةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّيْهَا إِذَا ذَكَرَهَا "
Lalu beliau membaca ayat:
وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِى
Padahal ayat tersebut ditujukan kepada nabi Musa
Menurut ulama’ Syafii bahwa hal itu bukan syariat bagi kita sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, mereka beralasan bahwa syariat kita menghapus syariat sebelum kita.

8.       DALALATUL IQTIRAN
a. Pengertian Dalālatul Iqtirān
Dalālatul Iqtirān,secara bahasa berarti dalil yang bersama-sama (berbarengan).
Secara istilah adalah dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu sama hukumnya dengan sesuatu yang disebut bersama-sama dalam satu ayat.
Contoh  :
وَأَتِمُّوْا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ للهِ  ( البقرة 196)
“Sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah”
Hukum umrah disamakan dengan haji yaitu wajib karena disebut bersamaan.

b. Kehujahan Dalālatul Iqtirān
Para ulama berbeda pendapat mengenai Dalālatul Iqtirān sebagaisumber hukum.
1). Sejumlah  ulama berpendapat bahwa dalalatul iqtiran tidak dapat dijadikan hujjah dengan alasan “Sesungguhnya bersama-sama dalam suatu himpunan tidak mesti bersamaan dalam hukum”
2). Sebagian ulama yang lain dari golongan Hanafiyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyah mengatakan bahwa Dalālatul Iqtirān dapat dijadikan hujjah dengan alasan: Sesungguhnya athaf itu menghendaki makna musyarakat atau kebersamaan.















       SOAL  EVALUASI
Berilah tanda silang (x) huruf a, b, c, d, atau e pada jawaban yang benar !

1.      Menetapkan hukun suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkan dengan kejadian atau peristiwa lain yang telah tetapkan hukumnya berdasarkan nashnya karena ada persamaan ‘illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu adalah……
a.       Ijmak
b.      Qiyas
c.       Ijtihad
d.      Sunah
e.       Istihsan
2.      Al-quran dimulai dengan surah al-Fatihah  diakhiri dengan surah…
a.       Al-iklas
b.      Al-kausar
c.       An-Nas
d.      Al-maidah
e.       Al-baqarah
3.      Apabila ada suatu persoalan tidak  terdapat  penjelasanya dalam Al-Quran maka dicarikan dari…
a.       As-sunah
b.      Qiyas
c.       Ijmak
d.      Ijtihad
e.       Ra’yu
4.      Ditinjau dari segi etimologi Al-Quran berasal dari bahasa arab yang artinya…..
a.       Kitab
b.      Petunjuk
c.       Bacaan
d.      Tulisan
e.       Buku
5.      Dalam Al-quran disebutkan perkara-perkar yang bersifat mujmal, dan hadis menjelaskannya secara khusus, contohnya….
a.       Haramnya minuman kras
b.      Perintah mendirikan salat jumat
c.       Larangnya menghardik  anak yatim
d.      Haramnya daging anjing
e.       Larngan memekan harta riba
6.      Segala perkataan Nabi  Muhammad Saw disebut dengan ….
a.       Hadis qudsi
b.      Hadis fi’li
c.       Hadis qauli
d.      Hadis takriri
e.       Hadisukuti


7.       Pengertian dari madzab shababi adalah…
a.       Kesepakatan para sahabat Nabi saw.
b.      Fatwa-fatwa sahabat sepeninggal Rasulullah
c.       Pemikiran-pemikiran para sahabat Rasulullah
d.      Kelompok yang mendukung pendapat para sahabat  Nabi saw.
e.       Kelompok yang mendukung pendapat Rasulullah
8.Ulama yang  membolehkan berpegang kepada al-maslahah al-mursalah secara mutlak adalah imam…
a.       Syafi’I
f.       Hanafi
g.      Malik
h.      Hambali
i.        Al-ghazali
9.   Sumber-sumber hokum  yang  tidak disepakati ulama hanya berfungsi sebagai sumber hokum yang bersifat…
a.       Komplementer
b.      Legal formal
c.       Sekunder
d.      Primer
e.       Tersier

10.   Wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Quran berdasarkan istihsan tetapi haram menurut qiyas, hal ini merupakan pendapat ulama…
a.       Syafi’iyah
b.      Malikiyah
c.       Jumhur ulama
d.      Hanafiyah
e.       Hanabalah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Macam-macam hukum syar'i

Al Hukmusy Syar'i