BAB V AL HUKMUSY SYAR’I
BAB V
AL HUKMUSY
SYAR’I
Manusia adalah mahlukAllah yang paling sempurna di
antara mahluk-mahluk-Nya yang lain. Kesempurnaan manusia adalah karena Allah
memberinya akal sebagai alat untuk berfikir lalu hasil dari proses berfikir
itulah kemudian manusia bertindak melakukan suatu perbuatan. Agar perbuatanya
tidak sia-sia maka Allah nantinya akan memberikan penilaian atas semua
perbuatan manusia. Karena kalau
tindakanya di biarkan begitu saja tanpa adanya penilaian maka manusia akan
berbuat sekehendak hatinya Karena akal manusia tidak selamanya di liputi
kebenaran.
Dalam melakukan perbuatanya, manusia mempunyai tingkatan
yang berbeda, ada yang tindakanya sesuai dengan keinginan Allah dan Rasulnya,
ada pula yang menyimpang dari apa yang di inginkan Allah, bahkan ada yang tidak
faham sama sekali dalam melakukan perbuatan yang di tuntut oleh Allah karena
gila atau karena masih kecil dan belum sempurna berfikirnya tentunya tidak adil
kalau orang-orang seperti ini di perlakukan sama. Lalu orang yang bagaimana
yang tindakan dan perbuatanya di berikan penilaian Allah ? dan perbuatan
seperti apa yang harus di lakuakan manusia agar mendapatkan penilaian baik dari
Allah dan perbuatan mana yang harus di tinggalkan agar tidak mendapatkan celaan
atau hukuman dari Allah. ?di bab inilah kita akan membahasnya, di antaranya
adalah membahas tentang hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan perbuatan
manusia, tentang manusia yang perbuatanya mendapatkan penghargaan dan hukuman,
tindakan yang wajib di lakukan dan di tinggalkan, serta perbuatan yang boleh di
tinggalkan dan boleh juga di lakukan.
Dengan harapan setelah selesai pembelajaran kita
bisa melaksanakan perbuatan yang di inginkan oleh Allah serta menjauhi
perbuatan yang di kehendaki oleh Allah.
Selanjutnya ….. selamat mempelajari !!
KOMPETENSI INTI
1. Menghayati dan mengamalkan ajaran
agama Islam.
2. Menghayati dan mengamalkan perilaku
jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran,
damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian
dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa
dalam pergaulan dunia
3. Memahami ,menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual,
konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingintahunya tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan,
kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta
menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai
dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan.
4. Mengolah,
menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan
pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu
menggunakan metoda sesuai
KOMPETENSI DASAR
1.3
Meyakini kebenaran hukum Syar’i
1.4
Meyakini Allah memberi kewajiban sesuai dengan kadar kemampuannya.
2.4 Memiliki sikap
tanggungjawab dalam menerapkan hukum syar’i
3.4.Mengidentifikasi
konsep hukum syar’i dalam Islam ( al hakim, al hukmu, al Mahkūm fīh dan al
Mahkum alaih)
4.4Mencontohkan
tentang macam-macam hukum taklīfī dan hukum waḍ’ī
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Siswa dapat
menjelaskan pengertian hukum syar’i
2. Siswa dapat
menyebutkanmacam-macam hukum syar’i
3. Siswa dapat
menunjukkan dasar hukum dalil syar’i
4. Siswa dapat membandingkan
perbedaan pemikiran mazhab
5. Siswa dapat menjelasakan pengertian al
hakim, al hukmu, al Mahkūm fīh, al Mahkūm alaih
6. siswa dapat membuat contoh hukum taklīfī dan
hukum waḍ’i.
A. MATERI PEMBELAJARAN
1. Hukum syar’i
a. Pengertian Hukum Syar’i
Menurut mayoritas ulama’ hukum syar’I
adalah
هُوَ خِطَابُ اللهِ الْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ
بِالْإِقْتِضَاء أَوِ التَّخْيِيْرِ أَوِ الوَضْعِ
“
Firman
(kalam) Allah yang berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf, yang mengandung
tuntutan, pilihan atau ketetapan.
Penjelasan definisi :
Maksud dari “Kithab atau firmanAllah”adalah
perkataan Allah secara langsung yaitu al-qur’an atau perkataan-Nya tetapi
melalui perantarayaitu sunnah, ijma', dan semua dalil syar’I.Yang di maksud “Iqtiḍā’”adalah
tuntutan, baik tuntutan untuk melakukan atau meninggalkan, atautuntutan secara pastimaupuntidak
pasti. sedangkan “Takhyīr”yaitu memilih antara melakukan sesuatu atau
meninggalkanya tanpa menguatkan salah satunya atau membolehkan mukallafuntuk
melakukan dan meninggalkan. Dan di maksud “Waḍ’i” adalah firman Allah
yang Menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain atau sebagai syarat adanya
yang lain atau sebagai penghalang adanya yang lain.
Sebagai contoh firman Allah surat Al Maidah :
38
Ayat di atas adalah termasuk hukum syar’I
karena berupa firman Allah yang menjadikan pencurian sebagai sebab adanya hukum
yaitu potong tangan.
Hadis Rasululah saw
عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى
يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّغِيرِ حَتَّى يَكْبُرَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى
يَعْقِلَ أَوْ يُفِيقَ (رواه النسائى )
dari Al Aswad dari Aisyah dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Diangkat pena dari tiga orang, yaitu
orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia dewasa, dan dari
orang yang gila hingga ia berakal atau sadar."
Hadis di
atas termasuk hukum syar’I karena berupa firman Allah tapi yang berupa
hadis yang menjadikan tidur, masih kecil, dan gila sebagai penghalang
kedewasaan (taklif), sehingga mereka semua tidak terkena hukum.
Dari pengertian al
hukmu menurut ulama’ ushul di atas dapat di ketahui dua hal :
1).
Bahwa firman Allah yang tidak berkaitan
dengan perbuatan orang mukalaf tidak di namakan hukm, seperti firman
yang berkaitan dengan dzat dan sifat-Nya, sebagaimana yang di firmankan
والله على كل شيء عليم
Ayat di atas tidak termasuk al hukm
karena tidak berkaitan dengan perbuatan manusia, begitu pula Firman-Nya yang
berkaitan dengan perbuatan manusia tetapi tidak menghendaki tuntutan pilihan
atau ketetapan juga tidak di namakan al hukm, seperti kisah-kisah dalam
Al qur’an sebagaimana firman-Nya yang menceritakan tentang kekalahan bangsa
Romawi
الم (1) غُلِبَتِ الرُّومُ (2) فِي
أَدْنَى الْأَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ
Alif laam Miim, telah dikalahkan bangsa
Rumawi,di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang
(Ar rum 1-3)
1) Yang dinamakan hukm menurut ulama’ ushul
atau yang disebut ushuliyun adalah firman Allah itu sendiri sedangkan
menurut ulama’ fiqih atau fuqaha’ yang di namakan hukm adalah
kandungan firman Allah. Sebagai contoh firman Allah :
ولا تقربوا الزنا
Menurut
ulama’ ushul ayat di atas disebut al hukm sedangkan menurut ulama’ fiqih
yang disebut al hukm adalah kandungan ayat tersebut yaitu haramnya zina.
b.
Macam-macam
hukumsyar’i
Menurut ulama’ uṣūlHukum syar’iterbagi
menjadi dua macam yaitu hukum taklīfīdan
hukum wad’i.
1) HukumTaklīfī
a) Pengertian Hukum Taklīfī: yaitu firman Allah yang berhubungan dengan
perbuatan mukalaf yangmenghendakituntutanuntuk melakukan atau menjauhi atau
untuk membuat pilihan. Di namakan hukum taklīfī karena adanya
pembebanan atau tuntutan kepada manusia.
Contohnya, Firman Allah yang menuntut mukallaf untuk melakukan
suatu perbuatan.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, (QS At Taubah :103)
b) Macam-macam hukum Taklīfī
Mayoritas ulama’ Ushul membagi hukum taklīfī menjadi 5 :
Ø
Ijāb :yaitu tuntutan Allah kepada mukalaf untuk melakukan suatu
perbuatan dengan tuntutan yang pasti, seperti firman Allah
وأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة
Ø
Nadb:yaitu tuntutan Allah kepada mukalaf untuk melakukan suatu
perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti atau anjuran untuk melakukan,
seperti firman Allah
ياأيها الذين آمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه
Ø
Taḥrīm :yaitu tuntutan Allah kepada mukalaf untuk tidak
melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti, seperti firman Allah
ولا تقربوا الزنا
Ø
Karāha: yaitu tuntutan Allah kepada
mukalaf untuk tidak melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak
pasti atau anjuran untuk menjauhi, seperti firman Allah
لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ
لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
Janganlah kamu menanyakan (kepada
Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu ( Al
Maidah “ 101).
Ø
Ibāḥah: yaitu Permintaan Allah kepada mukalaf untuk memilih
antara melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, seperti firman Allah
وَإِذَا
حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا [المائدة: 2]
“ Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah
haji, Maka bolehlah berburu. ( Al Maidah : 2).
Ulama’ Hanafi membagi hukum taklīfī menjadi 7
bagian dengan membagi firman Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan
dengan tuntutan pasti pada dua bagian ījab dan fardu dan membagi karaha
menjadi dua yaitu karaha tanzīh dan karaha tahrīm.
Menurut ulama’ Hanafi jika suatu perintah di dasarkan
pada dalil qat’i yaitu dalil yang berasal dari qur’an dan hadis mutawātir disebut farḍu, jika di dasarkan pada dalil ẓanni
seperti hadis ahadd disebut ijab.
Begitu pula larangan jika dasar yang di gunakan qat’i
disebut karaha tahrīm tetapi jika dasar yang di gunakan ẓanni
disebut karaha tanzīh.
Dengan pembagian hukum taklīfīseperti tersebut di
atas, Ulama’ Hanafiyah membagi hukum taklīfī kepada farḍu,ījāb, nadb, tahrīm, karaha tanzīh, karaha tahrīm dan Ibāḥah
Tetapi pada umumnya ulama sepakat membagi hukum tersebut
kepada lima bagian seperti telah disebut di atas. Kelima macam hukum itu
menimbulkan efek terhadap perbuatan mukalaf dan efek itu oleh ulama’ fiqih dinamakan
al-ahkām al-khamsah, yaitu
Ø Wajib
(1) Pengertian wajib
Perbuatan yang di tuntut oleh Allah untuk di
lakukan dengan tuntutan pasti, di mana pelakunya akan mendapat pujian sekaligus
pahala dan yang meninggalkan akan mendapat celaan atau hinaan sekaligus
hukuman.
Menurut mayoritas ulama’ bahwa wajib adalah sinonim dari
fardu.
Misalnya, mengerjakan puasa.
(2) Macam-macam wajib
Wajib di tinjau dari waktu pelakasanaanya
terbagi menjadi dua
(a). Wajib mutlak yaitu pekerjaan yang di
tuntut untuk di lakukan tetapi syariat tidak menentukan waktu pelaksanaanya.
Contoh : kafarat yang wajib bagi orang yang melanggar
sumpah, pelaku wajib melakukanya kapanpun ia mau tidak terikat oleh waktu
tertentu .
(b). Wajib Muqoyyad atau Muaqot
yaitu pekerjaan yang di tuntut oleh syari’ dan harus di lakukan pada
waktu-waktu yang telah di tentukan seperti shalat lima waktu, puasa
ramadhan.Sehingga seorang mukallaf dianggap berdosa apabila melakukan di luar
waktunya tanpa adanya udzur.
Wajib di tinjau dari orang yang di tuntut
untuk melaksanakanya. Terbagi menjadi :
(a).Wajib aini ( واجب عينى) yaitu pekerjaan yang di
tuntut oleh syar’i dan harus di laksanakan oleh masing-masing mukallaf, tidak
boleh di wakilkan mukallaf lain seperti shalat, puasa, minum khamr dsb.
(b). Wajib kafa’i ( واجب كفائي) yaitu pekerjaan yang di
tuntut oleh syari’ yang harus di laksanakan oleh sebagian mukallaf seperti
shalat jenazah, menolong orang yang tenggelam dsb. Sehingga apabila tuntutan
sudah di laksanakan oleh sebagian mukallaf maka gugur bagi mukallaf lain.
Wajib
Dilihat dari kadar pelaksanaanya terbagi dua:
(a). Wajib muḥaddad,
yaitu kewajiban yang ditentukan kadar atau jumlahnya.Misalnya, jumlah zakat
yang mesti dikeluarkan, jumlah rakaat sholat, dan lain-lain.
(b). Wajib gairu
muḥaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas bilangannya. Misalnya,
membelanjakan harta di jalan Allah, berjihadd, tolong-menolong, dan lain
sebagainya.
Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan
yang dituntut, wajib dapat dibagi dua:
(a). Wajib mu’ayyan yaitu perbuatan wajib yang
telah ditentukan macam perbuatannya, misalnya membaca fatihah, atau
tahiyyat dalam sholat.
.
(b). Wajib mukhayyar yaitu wajib yang boleh memilih salah satu dari
beberapa macam perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya, kifārat sumpah
yang memberi pilihan tiga alternatif antara memberi makan sepuluh orang miskin,
atau memberi pakaian sepuluh orang miskin atau memerdekakan budak.
Ø
Mandūb
(1). Pengertian Mandūb: yaitu perbuatan yang di tuntut oleh Allah
dengan tuntutan tidak pasti atau dengan kata lain segala perbuatan yang diberi pahala jika
mengerjakannya dan tidak di kenai siksa apabila meninggalkannya, mandub ini disebut juga sunat atau mustahab
(2). Macam-macam Mandūb
(a) Sunat ‘ain
yaitu segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi mukalaf untuk dikerjakan,
misalnya sholat sunat rawatib.
(b) Sunat kifayah,
yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh seseorang
saja dari suatu kelompok, misalnya mengucapkan salam, mendo’akan orang bersin,
dan lain-lain.
Selain
itu, sunat juga dibagi kepada:
(a) Sunat muakkad,
yaitu perbuatan sunat yang senantiasa dikerjakan oleh Rasul hanya sesekali saja
di tiggakan untuk menyatakan kepadd umatnya bahwa perbuatan tersebut tidak
wajib, seperti shalat tahajjud dan shalat witir.
(b) Sunat gairu
muakkad, yaitu segala macam perbuatan sunat yang tidak selalu dikerjakan
Rasul, misalnya bersedekah pada fakir miskin.
Ø
Muharram
(1)
Pengertian Muharram: yaitu Perbuatan yang di
tuntut oleh Allah untuk di tinggalkan dengan tuntutan pasti atau dengan kata
lain segala perbuatan yang apabila di lakukan
mendapat siksa dan apabila di tinggalkan mendapat pahala misalnya mencuri,
membunuh dan lain sebagainya.
(2)
Macam-macam Muharram
Secara
garis besarnya haram dibagi kepada dua:
(a) Haram karena
perbuatan itu sendiri, atau haram karena zatnya (tahrīm li
zātihi).
Haram seperti ini pada pokoknya adalah haram sejak semula. Misalnya, membunuh,
berzina, mencuri, dan lain-lain.
(b) Haram karena
berkaitan dengan perbuatan lain, atau haram karena faktor lain yang datang
kemudian. Misalnya, jual beli yang hukum asalnya mubah, berubah menjadi haram
ketika azan jum’at sudah berkumandang. Shalat memakai pakaian gasab.
Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain pada dasarnya
perbuatanya adalah sah, karena itu perbuatanya di hukumi sah sehingga shalat
dengan memakai pakaian gasab adalah sah hanya saja berdosa.
Ø
Makrūh
(1)
Pengertian Makrūh :Yaitu Perbuatan yang di tuntut oleh Allah untuk di tinggalkan dengan
tuntutan tidak pasti atau dengan kata lain perbuatan yang bila ditinggalkan,
mendapat pahala, dan jika di lakukan tidak mendapat dosa. Misalnya:
memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap, shalat di kandang unta
dan lain sebagainya.
(2)
Macam-macam Makrūh
Ulama mazhab Hanafi membagi Makrūh
kepada dua bagian:
(a)Makrūh taḥrīm, yaitu Perbuatan yang di tuntut oleh Allah untuk di tinggalkan dengan
tuntutan pasti tetapi dalil yang di gunakan adalah dalil ẓanni seperti
dalil yang berasal dari khabar wahid. Contohnya melamar wanita yang
sudah di lamar orang lain atau menawar barang yang sudah dii tawar orang lain.
Pelaku Makrūh taḥrīm akan mendapatkan dosa hanya saja yang mengingkari tidak kafir. Karean
segala sesuatu yang di tetapkan dengan ẓann (prasangka atau dugaan kuat) tidak dianggap kafir jika
mengingkarinya.
(b)Makrūh tanzīh, yaitu Perbuatan yang di tuntut oleh Allah untuk di tinggalkan dengan
tuntutantidak pasti. Seperti berwudhu dari air sisa minuman burung, memakan
daging kuda dan meminum susunya.
Makruh seperti ini jika di lakukan pelakunya tidak mendapatkan hukuman atau
dosa.
Ø Mubāḥ.
Yaitu perbuatan yang di bebaskan oleh Allah untuk di
lakukan ataupun di tinggalkan
2) Hukum Waḍ’ī
a) Pengertian Hukum waḍ’ī
Yaitu firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallafyang menjadikan sesuatu
sebagai sebab adanya yang lain, sebagai syarat adanya yang lain dan sebagai
penghalang adanya yang lain.
Contoh :
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ
اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.( Al Maidah :
38).
Ayat ini menetapkan bahwa pencurian menjadi
sebab di wajibkanya potong tangan.
b) Macam-macam hukum waḍ’ī
Dari pengertian di atas maka hukum waḍ’ī
terbagi menjadi sebab, syarat, dan mani’ namun sebagian ulama’
memasukan sah, batal, azimah dan rukhsahsebagai bagian dari hukum
waḍ’ī.
(1) Sebab
Menurut bahasa
sesuatu yang dapat mengakibatkan sesuatu
yang lain.
Menurut istilah khitab Allah yang
menjadikan sesuatu sebagai sebab ada dan tidaknya suatu hukum.
Atau adanya
sesuatu menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu menyebabkan tidak
adanya hukum.
Contoh : masuknya waktu shalat adalah
menyebabkan adanya pelaksanaan shalat dengan tidak adanya masuknya waktu tidak
akan ada pelaksanaan shalat
Macam-macam
sebab :
(a)Sebab
yang termasuk hukum taklīfī
Seperti melihat hilal menjadi sebab wajibnya
puasa ramadhan, mencuri sebagai sebab di laksanakanya hukum potong tangan
(b)Sebab
yang menjadi penyebab adanya kepemilikan, menjadi penyebab kehalalan dan
menjadi penyebab hilangnya kehalalan, seperti menjual adalah penyebab adanya
kepemilikan, nikah menjadi penyebab adanya kehalalan dan talaq menjadi penyebab
hilangnya kehalalan.
(c)
Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan berada dalam kesanggupanya,
seperti membunuh secara sengaja sebagai sebab adanya hukum qiṣās,
perjalanan jauh menjadi sebab bolehnya tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.
Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf ini mengakibatkan berlakunya ketentuan hukum
taklīfī, oleh karena itu ada yang di perintahkan untuk di lakukan dan
ada yang dilarang seperti berzina yang merupakan sebab bagi ancaman
hukuman.
(d).
Sebab yang merupakan suatu perkara yang bukan dari perbuatan dan berada di luar
kesanggupan mukallaf, seperti, kekerabatan adalah sebab terjadinya saling
mewarisi, bālig adalah sebab adanya taklīf.
2)
Syarat
Menurut
bahasa sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain.
Menurut istilah adanya sesuatu yang
mengakibatkan adanya hukum, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak
ada pula hukum, namun dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum,
atau sesuatu yang padanya tergantung keberadaan sesuatu yang lain dan berada di
luar hakekat sesuatu yang lain itu.
Misal : Wudhu adalah syarat sah shalat, dalam
arti adanya shalat tergantung pada adanya wudhu namun wudhu itu sendiri
bukanlah merupakan bagian shalat. jika tidak ada wudhu maka tidak akan ada sah
shalat, namun dengan adanya wudhu tidak mesti ada sah shalat, karena bisa jadi
seseorang berwudhu tetapi tidak melakukan shalat.
ḥaul (genap satu tahun) adalah syarat wajibnya
zakat harta perniagaan, tidak adanya haul tidak ada pula kewajiban zakat
namun dengan adanya haul tidak mesti ada wajib zakat karena bisa jadi barang
tersebut tidak mencapai nisāb.
Kehaddiran dua orang saksi menjadi syarat bagi
sahnya pernikahan, namun kedua orang saksi itu bukan menjadi bagian akad nikah.
3)Māni’(penghalang).
Menurut
bahasa adalah penghalang.
Menurut istilah Yaitu sesuatu yang di tetapkan
syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum.
Māni’ terbagi
menjadi 2 :
- Māni’terhadap hukum yaitu sesuatu yang
di tetapkan oleh syariat sebagai penghalang bagi berlakunya hukum.
seperti haidh dan nifas adalah māni’atau
penghalang wajibnya shalat meskipun sebabnya ada yaitu masuknya waktu.
Membunuh menjadi māni’ adanya hukum
yaitu mewarisi meskipun sebabnya ada yaitu kekerabatan.
- Māni’terhadap
sebab yaitu sesuatu yang di tetapkan syariat sebagai penghalang bagi
berfungsinya suatu sebab, sehingga sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum.
seperti berhutang menjadi māni’ atau
penghalang wajibnya zakat karena tidak terwujudnya sebab yaitu kepemilikan satu
nisāb.
4) Sah
Yaitu suatu perbuatan yang di
lakukan oleh mukallaf dengan memenuhi syarat dan rukunya, contoh di
dalam ibadah pelaksanaan shalat, zakat, puasa, haji yang syarat dan rukunya
terpenuhi.
Contoh dalam muamalah
seperti nikah, jual beli, wakaf dsb apabila di lakukan sesuai dngan syarat dan
rukunya.
5)Batal
Yaitu suatu perbuatan yang di lakukan
oleh mukallaf yang syarat dan rukunya tidak terpenuhi, seperti shalat
yang syarat maupun rukunya tidak terpenuhi.
6)Rukhsah
Yaitu sesuatu yang dalam kondisi tertentu di
syariatkan dalam rangka memberikan keringanan terhadap mukallaf .
Rukhsah terbagi menjadi beberapa macam :
(a) Di
perbolehkanya melakukan sesuatu yang dilarang ketika dalam kondisi terpaksa
seperti orang yang di paksa mengucapkan kata kafir maka ia boleh mengucapkanya
sementara hatinya tetap dalam keadaan iman.
(b) Di
perbolehkanya meninggalkan kewajiban jika ada udzur yang memberatkan mukallaf
ketika melaksanakanya. Seperti orang yang musafir di perbolehkan tidak
berpuasa.
(c) Mensahkan
sebagian transaksi yang syarat dan rukunya tidak terpenuhi. Seperti akad salam.
7) Azimah
Yaitu
hukum syara’ yang pokok dan berlaku untuk seluruh mukallaf dan dalam semua
keadaan dan waktu, misalnya : shalat fardhu lima waktu sehari semalam, dan
puasa pada bulan ramadhan
c. Perbedaan
Antara Hukum Taklīfī dengan Hukum Waḍ’ī
Dari
uraian sebelumnya dapat dilihat perbedaan antara hukum taklīfī dan hukum wadhi
dari dua hal:
1.
Dilihat dari sudut pengertiannya, hukum taklīfī adalah hukum Allah yang
berisi tuntutan-tuntutan untuk berbuat atau tidak berbuat suatu perbuatan, atau
membolehkan memilih antara berbuat dan tidak berbuat. Sedangkan hukum waḍ’ī
tidak mengandung tuntutan atau memberi pilihan, hanya menerangkan sebab atau
halangan (māni’) suatu hukum, sah dan batal.
2.
Dilihat dari sudut kemampuan mukalaf untuk memikulnya, hukum taklīfī
selalu dalam kesanggupan mukalaf, baik dalam mengerjakan atau meninggalkannya.
Sedangkan hukum waḍ’ī kadang-kadang dapat dikerjakan (disanggupi) oleh
mukalaf dan kadang-kadang tidak.
d.Hal-hal
yang berhubungan dengan hukum syar’i
1) AL HAKI M
a) Pangertian al-Hākim
Al Hākim adalah dzat yang mengeluarkan hukum. Dia adalah Allah, maksudnya
Dialah sebagai sumber hukum. Allah adalah dzatyang menyuruh, melarang,
mewajibkan, mengharamkan, memberi pahala atau siksa. Dengan demikian Al
Hākim adalah Allahdisebut juga syari’ ( شارع ) .
b)Metode Mengetahui Hukum Allah
Menurut ijma’ bahwa Al Hākim adalah Allah. Tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai
cara mengetahui hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf,
mungkinkah akal bisa mengetahuinya tanpa ada pemberitahuan dari Rasul?
Menurut Madzhab Asy'ariyah bahwa hukum-hukum
Allah hanya bisa di ketahui melalui Rasul-rasul-Nyadan kitab-Nya.
Alasan mereka adalah bahwa yang menetapkan
perbuatan seseorang itu baik atau buruk adalah syariat dengan cara
menuntut untuk melakukan atau memperbolehkan jika perbuatan itu baik dan
menuntut untuk menjauhi jika perbuatan itu buruk.
Sehingga
menurut Asyari bahwa standar baik dan buruk suatu perbuatan adalah sayriat
bukan akal.
Menurut Madzhab Mu’tazilah bahwa hukum-hukum
Allah bisa di ketahui melalui akal tanpa melalui rasul dan kitab-Nya. Karena
semua perbuatan mukallaf yang baik maupun yang buruk mempunyai dampak, yaitu dampak baik dan dampak buruk. Dampak
inilah yang bisa di ketahui oleh akal. Sehingga perbuatan yang berdampak buruk
menurut akal itu adalah perbuatan buruk dan sebaliknya perbuatan yang berdampak
baik menurut akal itu adalah perbuatan baik. Dari sini maka hukum-hukum Allah
mengenai perbuatan mukallaf bisa di ketahui melalui akal.
c). Kedudukan Hakim Dalam Hukum Islam
Kedudukan Al Hākim dalam hal ini adalah
Allah SWT adalah sebagai pembuat sekaligus yang
menetapkan hukum untuk dipatuhi oleh setiap mukallaf.
2). MAHKŪM FĪH
a) Pengertian Mahkūm fīh
Menurut para ulama’ Uṣūl yang dimaksud dengan Mahkūm fīh adalah obyek hukum,yaitu perbuatan
seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’(Allah dan Rasul-Nya),
baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan
memilih suatu pekerjaan.
Contoh:
وأقيموا الصلاة
Artinya:”dan dirikanlah
shalat”
Dalam ayat ini terkandung suatu perintah kepadamukallafuntuk melakukan suatu perbuatan,yaitu melaksanakan shalat.
b) Syarat –syarat mahkum bih/fih
ü Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan di lakukan.sehingga perintah
dapat di laksanakan dengan sempurna sesuai dengan yang di inginka Allah. Maka
seorang mukallaf tidak tidak wajib melaksankan tuntutan yang belum
jelas. Seperti perintah shalat dalam Al Qur’an andaikan tata caranya tidak di
jelaskan oleh Rasulullah maka mukallaf tidak wajib mengerjakanya karena
perbuatanya dianggap tidak jelas.
ü Mukallaf harus benar-benar mengetahui bahwa sumber taklif
berasal dari Allah. Sehingga ia melaksanakan berdasarkan ketaatan dengan tujuan
melaksanakan perintah Allah semata.
ü Perbuatan yang di tuntut harus mungkin untuk dilaksanakan atau
ditinggalkan,berkaitan dengan hal ini terdapat beberapa persyaratan yaitu:
1)
tidak sah menuntut
suatu perbuatan yang mustahil di lakukan atau di tinggalkan mukallaf,
misalnya manusia di tuntut untuk terbang maka tidak wajib di laksankan karena
secara adat hal itu tidak mungkin di lakukan.
2)
tidak sah
hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan atas nama
orang lain.
3). MAHKUM
‘ALAIH
a) Pengertian Mahkūm
‘alaih (yang di kenai hukum)
Menurut ushuliyyin yang di maksud Mahkūm alaih adalah seseorang yang
perbuatannya dikenai khitab Allah SWT atau disebut dengan mukallaf.
b).Syarat syarat mahkūm
‘alaih
Syarat taklif ada 2 yaitu:
(1)
Mampu memahami
tuntutan syara’ yang terkandung dalam Al qur’an dan sunnah baik langsung
maupun melalui orang lain. Kemampuan untuk memahami taklif ini melalui akal.
Adapun ukuran untuk menyatakan bahwa seseorang
bisa memahami tuntutan syara’ adalah baligh dan berakal, dari sini maka
orang gila dan anak kecil bebas dari tuntutan taklif karena dianggap tidak
berakal, begitu pula orang yang lupa, tidur dan tidak sadar juga terbebas
tuntutan taklif karena dianggap tidak mempunyai kemampuan memahami sesuatu,
sebagaimana sabda nabi :
رفع القلم عن ثلاث عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبى حتى
يحتلم وعن المجنون حتى يفيق
“ Pena telah di angkat (tidak di gunakan untuk mencatat) amal
perbuatan tiga orang : orang yang tidur hingga ia bangun, anak-anak hingga
dewasa, dan orang gila hingga sembuh”.
(2)
Memiliki
kemampuan atau kecakapan dalam melaksankan tuntutan Syariat yang dalam ushul fiqihdisebutAhliyyah.
c)Macam-macam ahliyyah
(1) Ahliyah ada’(أهلية الأداء
)
Yaitu mukallaf yang prilaku dan
ucapanya secara syariat sudah di nilai. Di mana setiap prilaku dan tindakanya
yang berkenaan dengan hukum syariat akan mendapatkan penghargaan dari syara’.
ukuran untuk menentukan seseorang telah memiliki ahliyyah ada’ adalah tamyiz
dan berakal.
(2)Ahliyah Al-wujub ( أهلية الوجوب)
Yaitu sifat fitrah manusia yang di berikan
Allah kepada manusia sejak di lahirkan atau kepantasan manusia dalam
mendapatkan hak dan kewajiban. Seperti wajibnya membayar zakat fitrah bagi
anak-anak, hak untuk mendapatkan warisan bagi janin.
d) Kondisi manusia dalam melaksanakan tuntutan
(1). Tidak mempunyai keahlihan sama sekali
atau keahlihanya hilang ( عديم أهلية الأداء)
Yang termasuk kelompok ini adalah anak kecil
pada masa kecilnya dan orang gila. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk
melaksanakan tuntutan karena belum atau tidak sempurna akalnya. Sehingga semua
perbuatanya yang berhubungan dengan hukum tidak sah.
(2). Mempunyai keahlihan tetapi belum sempurna(ناقص أهلية الأداء)
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah anak
kecil yang mumayiz, sehingga tindakanya yang berhubungan dengan hukum dianggap
sah seperti pemberianya tanpa seijin walinya.
(3). Memiliki keahlihan sempurna أهلية الأداء كامل
yaitu orang yang baligh dan berakal. Sehingga
semua hukum-hukum Allah berlaku kepadanya begitu pula akibat
ketentuan-ketentuan hukum beserta sanksi-sanksinya.
e) Hal-hal yang menghalangi ahliyyah ada’:
(1) ‘Awāriḍ samāwiyyah
yaitu halangan yang datangnya dari Allah bukan di sebabkan oleh
keinginan manusia seperti: gila, dungu, perbudakan, sakit yang berkelanjutan
kemudian mati dan lupa.
(2) ‘Awāriḍ al
muktasabah yaitu halangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia seperti
mabuk, keadaan terpaksa, banyak hutang dsb.
Dampak
dari halangan ahliyatul ada’di atas akan menyebabkan :
(1.) Seseorang akan kehilangan ahliyatul ada’
sama sekali seperti orang gila, orang tidur, dan orang yang pingsan, mereka
semua secara asal tidak mempunyai ahliyatul ada’ sehingga apa yang mereka lakukan tidak
mempunyai dampak hukum.
(2) Mengurangi ahliyatul ada’ seseorang,
karena itulah sebagian tindakanya sah secara syariat seperti anak kecil yang
sudah tamyiz.
(3) Tidak ada dampak apapun terhadapahliyatul
ada’ ( tidak menghilangkan dan tidak juga mengurangi), tetapi ada beberapa
perubahan hukum dalam rangka melindungi kemaslahatan, seperti yang terjadi pada
orang yang baligh, berakalmempunyai ahliyatul ada’ secara sempurna
tetapi mempunyai banyak hutang, orang tersebut tidak boleh menggunakan harta
bendanya bukan karena ahliyatul ada’nya hilang atau berkurang tetapi semata-mata
bertujuan melindungi harta bendanya orang yang di hutangi.
Rangkuman
1.
Hukum syar’i
هُوَ خِطَابُ اللهِ الْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ
بِالْإِقْتِضَاء أَوِ التَّخْيِيْرِ أَوِ الوَضْعِ
“
Firman
(kalam) Allah yang berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf, yang mengandung
tuntutan, pilihan atau ketetapan.
2.
Macam-macam
hukumsyar’i
Menurut
ulama’ ushul Hukum syar’iterbagi
menjadi dua macam yaitu hukum taklīfīdan
hukum wad’i.
HukumTaklīfī : yaitu
firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf
yangmenghendakituntutanuntuk melakukan atau menjauhi atau untuk membuat
pilihan. Di namakan hukum taklīfī karena adanya
pembebanan atau tuntutan kepada manusia.
Macam-macam hukum taklīfī
Mayoritas ulama’ Ushul
membagi hukum taklīfī menjadi 5 :
Ø
Ijab
Ø
Nadb
Ø
Tahrīm
Ø
Karaha
Ø
Ibahah
Ulama’ Hanafi membagi hukum taklīfī menjadi 7 bagian
dengan membagi firman Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan
tuntutan pasti pada dua bagian ijab dan fardhu dan membagi karaha menjadi dua
yaitu karaha tanzīh dan karaha tahrīm.
Kelima macam hukum itu menimbulkan efek terhadap
perbuatan mukalaf dan efek itu oleh ulama’ fiqih dinamakan al-ahkam
al-khamsah, yaitu
Ø
Wajib
Perbuatan yang di tuntut oleh Allah untuk di
lakukan dengan tuntutan pasti, di mana pelakunya akan mendapat pujian sekaligus
pahala dan yang meninggalkan akan mendapat celaan atau hinaan sekaligus
hukuman.
Macam-macam wajib
Wajib di tinjau dari waktu pelakasanaanya
terbagi menjadi dua
1). Wajib mutlak yaitu pekerjaan yang di tuntut untuk di lakukan
tetapi syariat tidak menentukan waktu pelaksanaanya.
2). Wajib Muqoyyad atau Muaqot
yaitu pekerjaan yang di tuntut oleh syari’ dan harus di lakukan pada
waktu-waktu yang telah di tentukan seperti shalat lima waktu, puasa ramadhan.
Wajib di tinjau dari orang yang di tuntut
untuk melaksanakanya. Terbagi menjadi :
1). Wajib aini ( واجب عينى) yaitu pekerjaan yang di
tuntut oleh syar’i dan harus di laksanakan oleh masing-masing mukallaf, tidak
boleh di wakilkan mukallaf lain.
2). Wajib kafa’i ( واجب كفائي) yaitu pekerjaan yang di
tuntut oleh syari’ yang harus di laksanakan oleh sebagian mukallaf seperti.
Wajib Dilihat dari kadar pelaksanaanya terbagi
dua:
1). Wajib muhadddad, yaitu kewajiban yang ditentukan kadar
atau jumlahnya.
2). Wajib ghairu muhadddad, yaitu kewajiban yang tidak
ditentukan batas bilangannya.
Dilihat dari segi tertentu atau tidak
tertentunya perbuatan yang dituntut, wajib dapat dibagi dua:
1). Wajib mu’ayyan yaitu perbuatan
wajib yang telah ditentukan macam perbuatannya,.
2). Wajib mukhayyar yaitu wajib yang
boleh memilih salah satu dari beberapa macam perbuatan yang telah ditentukan.
Ø
Mandūb
Yaitu perbuatan yang di tuntut oleh Allah
dengan tuntutan tidak pasti atau dengan kata lain segala perbuatan yang diberi pahala jika
mengerjakannya dan tidak di kenai siksa apabila meninggalkannya, mandub ini disebut juga sunat atau mustahab
Macam-macam Mandūb
Sunat ‘ain yaitu segala perbuatan yang
dianjurkan kepada setiap pribadi mukalaf untuk dikerjakan.
Sunat kifayah, yaitu segala perbuatan
yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh seseorang saja dari suatu kelompok.
Selain itu, sunat juga dibagi kepada:
Sunat muakkad, yaitu perbuatan sunat yang senantiasa
dikerjakan oleh Rasul hanya sesekali saja di tiggakan untuk menyatakan kepada
umatnya bahwa perbuatan tersebut tidak wajib.
Sunat ghairu muakkad, yaitu segala macam perbuatan sunat yang
tidak selalu dikerjakan Rasul.
Ø
Muharram
Yaitu Perbuatan yang di tuntut oleh Allah
untuk di tinggalkan dengan tuntutan pasti atau dengan kata lain segala perbuatan yang apabila di lakukan
mendapat siksa dan apabila di tinggalkan mendapat pahala.
Macam-macam Muharram
1. Haram karena perbuatan itu sendiri, atau
haram karena zatnya (tahrīm li zātihi).
2. Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau haram karena
faktor lain yang datang kemudian.
Ø
Makrūh
Yaitu Perbuatan yang di tuntut oleh Allah
untuk di tinggalkan dengan tuntutan tidak pasti atau dengan kata lain perbuatan
yang bila ditinggalkan, mendapat pahala, dan jika di lakukan tidak mendapat
dosa.
Macam-macam Makrūh
Ulama mazhab Hanafi membagi makruh kepada dua bagian:
a. Makrūh taḥrīm, yaitu Perbuatan yang di tuntut oleh Allah untuk di tinggalkan dengan
tuntutan pastitetapi dalil yang di gunakan adalah dalil zanni seperti
dalil yang berasal dari khabar wahid.
b. Makruh tanzīh, yaitu Perbuatan yang di tuntut oleh Allah untuk di tinggalkan dengan
tuntutantidak pasti. Seperti berwudhu dari air sisa minuman burung, memakan
daging kuda dan meminum susunya.
Ø Mubāḥ.
Yaitu perbuatan yang di bebaskan oleh Allah untuk di
lakukan ataupun di tinggalkan.
Hukum Waḍ’ī
Yaitu firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallafyang menjadikan sesuatu
sebagai sebab adanya yang lain, sebagai syarat adanya yang lain dan sebagai
penghalang adanya yang lain.
Macam-macam hukum waḍ’ī
a. Sebab
Menurut bahasa
sesuatu yang dapat mengakibatkan sesuatu
yang lain.Menurut istilah khitab Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab
ada dan tidaknya suatu hukum. Atau adanya sesuatu menyebabkan adanya hukum
dan tidak adanya sesuatu menyebabkan tidak adanya hukum.
Macam-macam
sebab :
1. Sebab
yang termasuk hukum taklīfī
2. Sebab
yang menjadi penyebab adanya kepemilikan, menjadi penyebab kehalalan dan menjadi
penyebab hilangnya kehalalan.
3. Sebab
yang merupakan perbuatan mukallaf dan berada dalam kesanggupanya.
4. Sebab yang merupakan suatu perkara yang
bukan dari perbuatan dan berada di luar kesanggupan mukallaf, seperti,
kekerabatan adalah sebab terjadinya saling mewarisi, bālig adalah sebab
adanya taklīf.
b.
Syarat
Menurut bahasa sesuatu yang menghendaki
adanya sesuatu yang lain. Menurut istilah adanya sesuatu yang mengakibatkan
adanya hukum, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum,
namun dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum, atau sesuatu
yang padanya tergantung keberadaan sesuatu yang lain dan berada di luar hakekat
sesuatu yang lain itu.
c. Māni’(penghalang).
Menurut bahasa adalah penghalang. Menurut
istilah Yaitu sesuatu yang di tetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya
hukum.
Māni’ terbagi
menjadi 2 :
- Māni’terhadap
hukum yaitu sesuatu yang di tetapkan oleh syariat sebagai penghalang bagi
berlakunya hukum.
- Māni’terhadap
sebab yaitu sesuatu yang di tetapkan syariat sebagai penghalang bagi
berfungsinya suatu sebab, sehingga sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum.
d. Sah
Yaitu
suatu perbuatan yang di lakukan oleh mukallaf dengan memenuhi syarat dan
rukunya, contoh di dalam ibadah pelaksanaan shalat, zakat, puasa, haji yang
syarat dan rukunya terpenuhi.
e. Batal
Yaitu suatu perbuatan yang di lakukan oleh mukallaf
yang syarat dan rukunya tidak terpenuhi, seperti shalat yang syarat maupun
rukunya tidak terpenuhi.
f. Rukhsah
Yaitu sesuatu yang dalam kondisi tertentu di syariatkan
dalam rangka memberikan keringanan terhadap mukallaf .Rukhsah terbagi menjadi
beberapa macam :
1. Di
perbolehkanya melakukan sesuatu yang dilarang ketika dalam kondisi terpaksa
2. Di
perbolehkanya meninggalkan kewajiban jika ada udzur yang memberatkan mukallaf
ketika melaksanakanya.
3. Mensahkan
sebagian transaksi yang syarat dan rukunya tidak terpenuhi. Seperti akad salam.
g.
Azimah
Yaitu hukum
syara’ yang pokok dan berlaku untuk seluruh mukallaf dan dalam semua keadaan
dan waktu, misalnya : shalat fardhu lima waktu sehari semalam, dan puasa pada
bulan ramadhan
Perbedaan
Antara Hukum Taklīfī dengan Hukum Waḍ’ī
- Dilihat dari sudut pengertiannya, hukum taklīfī
adalah hukum Allah yang berisi tuntutan-tuntutan untuk berbuat atau tidak
berbuat suatu perbuatan, atau membolehkan memilih antara berbuat dan tidak
berbuat. Sedangkan hukum waḍ’ī tidak mengandung tuntutan atau memberi
pilihan, hanya menerangkan sebab atau halangan (māni’) suatu hukum, sah dan
batal.
- Dilihat dari sudut kemampuan mukalaf untuk
memikulnya, hukum taklīfī selalu dalam kesanggupan mukalaf, baik dalam
mengerjakan atau meninggalkannya. Sedangkan hukum waḍ’ī kadang-kadang
dapat dikerjakan (disanggupi) oleh mukalaf dan kadang-kadang tidak.
Hal-hal yang berhubungan dengan hukum syar’i
1. AL HAKI M
Adalah dzat yang mengeluarkan hukum. Dia adalah Allah.Metode
Mengetahui Hukum Allah. Menurut ijma’ bahwa Al Hākim adalah Allah. Tetapi para ulama berbeda pendapat tentang
masalah penting yang berhubungan dengan metode mengetahui hukum-hukum
Allah, Menurut Madzhab Asy'ariyah berpendapat bahwa hukum-hukum Allah hanya
bisa di ketahui melalui Rasul-rasulnya.
Menurut Madzhab Mu’tazilah bahwa hukum-hukum Allah bisa
di ketahui melalui akal.
2. MAHKŪM FĪH
adalah obyek hukumyaitu
perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’(Allah
dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan;
tuntutan memilih suatu pekerjaan.
Syarat –syarat
mahkum bih/fih
ü Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan di lakukan.sehingga perintah
dapat di laksanakan dengan sempurna sesuai dengan yang di inginka Allah.
ü Mukallaf harus benar-benar mengetahui bahwa sumber taklif
berasal dari Allah..
ü Perbuatan yang di tuntut harus mungkin untuk dilaksanakan atau
ditinggalkan,berkaitan dengan hal ini terdapat beberapa persyaratan yaitu:
- tidak sah menuntut suatu perbuatan yang
mustahil di lakukan atau di tinggalkan mukallaf.
- tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di
taklifkan untuk dan atas nama orang lain.
3. MAHKUM ‘ALAIH
Yaitu seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah SWT atau disebut
dengan mukallaf.
Syarat syarat mahkūm
‘alaih
1. Mampu memahami tuntutan syara’ yang terkandung dalam Al
qur’an dan sunnah baik langsung maupun melalui orang lain.Kemampuan untuk
memahami taklif ini melalui akal.
2. Memiliki kemampuan atau kecakapan dalam melaksankan tuntutan
Syariat yang dalam ushul fiqihdisebutAhliyyah.
Macam-macam ahliyyah
1. Ahliyah ada’(أهلية الأداء
)
2. Ahliyah Al-wujub ( أهلية الوجوب)
Kondisi manusia dalam melaksanakan tuntutan
1. Tidak mempunyai keahlihan sama sekali atau
keahlihanya hilang ( عديم أهلية الأداء)
2. Mempunyai keahlihan tetapi belum sempurna(ناقص أهلية الأداء)
3. Memiliki keahlihan sempurna أهلية الأداء كامل
Hal-hal yang
menghalangi ahliyyah ada’:
1) ‘Awāriḍ samāwiyyah yaitu halangan yang datangnya dari Allah bukan di sebabkan oleh
keinginan manusia seperti: gila, dungu, perbudakan, sakit yang berkelanjutan
kemudian mati dan lupa.
2) ‘Awāriḍ al muktasabah yaitu halangan yang disebabkan oleh
perbuatan manusia seperti mabuk, keadaan terpaksa, banyak hutang dsb.
Dampak dari halangan ahliyatul ada’di atas akan menyebabkan :
1.) Seseorang akan
kehilangan ahliyatul ada’ sama sekali seperti orang gila, orang tidur,
dan orang yang pingsan.
2) Mengurangi ahliyatul
ada’ seseorang,
3) Tidak ada dampak apapun terhadapahliyatul
ada’.
SOAL EVALUASI
Berilah tanda silang (x) huru a, b, c, d, atau
e pada jawaban yang paling benar !
1. Mencegah, memutuskan dan menetapkan adalah makna dari…
a. Syara’
b. Hokum
c. Adat
d. Taklif
e. Wadh’i
2. Hokum menurut ulama ushul terbagi dalam dua bagian, yaitu….
a. Hokum syara’ dan hokum wadh’i
b. Hokum taklifi dan hokum syar’i
c. Hokum syar’I dan hokum no syar’i
d. Hokum taklifi dan hokum wadh’i
e. Hokum muamalah dan hokum ibadah
3. Tuntutan untuk berbuat, meninggalkan atau pilih keduanya disebut hokum…
a. Wajib
b. Sunah
c. Mubah
d. taklifi
e. wadh’i
4. Baerikut ini, yag bukan termasuk
hokum taklifi adalah…
a. Nasi’ah
b. Ijab
c. Nadb
d. Karahah
e. iabahah
5. Hokum yang menetapkan tuntuta disebut hokum taklifi. Hokum taklifi yang
mengandung larangan dan harus jijauhi dinamakan…..
a. Ijab
b. Syarat
c. Tahrim
d. Nadb
e. Karahah
6. Firman Allah Swt yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab
syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain adalah termasuk hokum….
a. Wadh’i
b. Taklifi
c. Syar’i
d. Muamalah
e. Ibadah
7. Salah satu syarat sahnya suatu
taklifi atau pembebanan hokum terhadap mukalaf adalah…..
a. Tidak paham terhadap perbuatan yang akan dilakukan
b. Mukalaf harus mengatahui sumber taklif
c. Perbuatan itu ibadah perbuatan yang harus dikerjakan
d. Melakukan perbuatan hokum yang bukan menjadi tanggung jawabnya
e. Mukalaf tidak wajib mengetahui
sumber pembebanan hokum
8. Tuntutan Allah yang bersifat memaksa kepada mukalaf untuk melaksanakan
suatu perbuatan, tetapi melalui dalil yang bersifat dzanni adalah pengertian
dari….
a. Karahah
b. Nadb
c. Iftiradh
d. Tahrim
e. Ijab
9. Contoh dari wajib gairu muuhaddad, yaitu…
a. Memberi makan orang yang sedang kelaparan
b. Puasa pada bulan Ramadhan
c. Kebolehan berburu setelah selesai melaksanakan ibadah ahji
d. jual beli pada saat azan jumat
e. larangan berpuasa pada hari jumat
10. istilah yang digunakan untuk menyebutkan denda karena melaggar suatu
perintah hokum adalah…
a. kharaj
b. kafarat
c. ghanimah
d. ashobah
e. masyaqqah
Komentar
Posting Komentar